KEBIJAKAN Pemda DKI tentang kawasan pembatasan penumpang (three
in one) memang istimewa sejak awal. Paling tidak, perhatian yang
diberikan Kompas terhadap pelaksanaan KPP itu sangat istimewa.
Betapa tidak, sepanjang lima tahun masa uji coba dan diberlakukannya
KPP, Kompas membuat dua kali penelitian dan sekali liputan evaluasi.
Sebelum KPP diujicobakan, Kompas melakukan penelitian tentang
sikap masyarakat terhadap rencana pemberlakuan KPP dan bagaimana
tindakan mereka jika KPP diberlakukan. Sasaran penelitiannya adalah
karyawan yang bekerja di kantor-kantor di kawasan KPP. Lalu ketika
uji coba KPP sudah berlangsung setahun, Kompas membuat liputan
evaluasi tentang pelaksanaan KPP.
Dan ketika KPP hampir berusia lima tahun, Kompas kembali
melakukan penelitian tentang sikap masyarakat kelas menengah Jakarta
terhadap pelaksanaan KPP selama itu serta bagaimana perilaku mereka
dalam melintasi KPP pada jam-jam yang ditentukan.
Meski kedua penelitian itu dilakukan dengan metode dan kerangka
penelitian yang berbeda, tetapi hasilnya ternyata konsisten. Yakni
masyarakat, baik pengguna maupun bukan pengguna KPP, sama-sama tidak
setuju diberlakukannya KPP. Dalam pandangan mereka kemacetan di
kawasan itu tetap terjadi.
Kalaupun kemacetan berkurang, itu terjadi karena kemacetan
dipindahkan ke jalan-jalan lain yang sebelumnya tidak pernah macet.
Lihat saja antrean kendaraan panjang dan berdesak-desakan di jalur
Jl Casablanca - Satrio KH Mas Mansyur - Abdul Muis setiap pagi.
Pemandangan yang sama terjadi di jalan Warung Buncit - Tendean -
Wolter Monginsidi atau jalan arteri Pondok Indah - Pejompongan.
Fenomena lain yang menyertai pelaksanaan KPP adalah munculnya
ratusan joki yang setiap pagi mewarnai jalan-jalan menuju KPP.
Fenomena itulah yang barangkali tidak terbayangkan sebelumnya.
Soal lain yang juga mengganjal pelaksanaan KPP adalah adanya
ketidaksiapan landasan hukum yang harus menyertai kebijakan itu.
Surat Keputusan Gubernur dianggap tidak cukup kuat untuk menjerat
para pelanggar yang pada awal-awal pelaksanaan KPP bermaksud "nakal"
dan mengakali petugas.
Setelah Pengadilan Negeri tidak mau menyidangkan kasus-kasus
pelanggaran KPP dan kalangan pakar hukum mempersoalkannya, Pemda
bermaksud membuat peraturan daerah (Perda) untuk memberi landasan
hukum yang kuat. Tetapi entah mengapa, Perda itu tidak pernah muncul.
Dan landasan hukum yang kemudian dipakai adalah Perda No 11/1988
tentang ketertiban umum.
***
SINGKATNYA, pada awal-awalnya pelaksanaan KPP terkesan Pemda DKI
kedodoran menghadapi berbagai bentuk ketidaksetujuan, kontroversi,
dan kritik pedas dari berbagai kalangan. Meski pada akhirnya KPP itu
berlangsung selama lima tahun, namun akhirnya harus diganti dengan
kebijakan lain yang dipandang lebih realistis.
Tentu kebijakan baru -sistem stiker- itu nantinya tidak mengalami
nasib yang sama dengan KPP. Dengan kata lain, jangan sampai
pengalaman KPP terulang kembali pada sistem stiker yang sampai
sekarang juga belum jelas benar konsepnya.
Justru karena belum ditentukan kapan waktu persisnya pelaksanaan
sistem stiker itu, sekarang masih terbuka kesempatan bagi Pemda untuk
lebih matang merumuskan dan mensosialisasikan konsepnya. Lebih dari
itu adalah sikap akomodatif Pemda untuk menerima dan mempertimbangkan
masukan dari masyarakat, serta merevisinya bila dianggap perlu.
Tampaknya, sistem stiker akan berjalan lebih mulus dibanding KPP
selama ini. Setidaknya, ganjalan dari DPRD akan lebih kecil.
Petunjuknya, setidaknya dua ketua komisi di DPRD DKI menyatakan
dukungannya.
Ketua Komisi D, Ir Ali Wongso HS kepada Kompas mengaku sudah
sejak awal mengusulkan sistem stiker. Hal yang sama juga dikemukakan
Ketua Komisi C, H Amarullah Asbah kepada Antara menanggapi rencana
penggantian KPP dengan sistem stiker. "Sistem three in one sebenarnya
sejak dulu saya usulkan untuk diganti dengan konsep stiker," katanya.
***
AGAR sistem stiker nantinya bisa berjalan mulus, memang masih
banyak hal yang harus disiapkan. Aspek hukum tampaknya bisa cepat
diselesaikan setelah mendapat dukungan dari DPRD. "Apalagi kalau yang
mau dipakai sebagai dasar hukum adalah Keppres, bisa lebih cepat
lagi" kata Ali Wongso.
Persoalan pertama yang harus segera diselesaikan adalah konsep
sistem stiker itu sendiri. Kejelasan konsep bukan hanya pada
penanganan teknis di lapangan seperti bagaimana dan di mana
mendapatkan stiker, berapa harga stiker, di mana stiker harus
dipasang, bagaimana pengawasannya, dan seterusnya. Persoalan yang
tidak kalah penting adalah transparansi dan pertanggungjawaban uang
yang diperoleh dari penjualan stiker. Bahkan dituntut juga
transparansi dalam tender jika perusahaan swasta mau dilibatkan.
Soal stiker itu siapa yang mencetak dan seperti apa bentuknya,
barangkali itu persoalan mudah. Tetapi, di sini pun harus dibayangkan
kemungkinan terjadinya pemalsuan stiker. Tehnologi percetakan dan
fotocopy kini memudahkan orang yang bermaksud tidak baik.
Sebelum bisa memasang stiker, tentu masyarakat harus diberitahu
di mana dan bagaimana mendapatkan stiker. Lokasi dan cara pembelian
harus dipikirkan secara cermat supaya masyarakat mudah mendapatkan
dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas itu sendiri. Memasang
loket-loket di jalan atau suatu tempat sebelum masuk ke kawasan
stiker, tentu bukan cara yang tepat.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana pengawasan terhadap
kendaraan yang mau masuk kawasan stiker itu. Di sini, sistem yang
diterapkan tidak boleh sekadar memindahkan kemacetan ke jalan-jalan
yang mau masuk ke kawasan stiker.
Karena itu, memasang gardu-gardu di ujung jalan masuk kawasan
stiker bukanlah cara yang bijaksana. Mengerahkan petugas untuk
mengamati apakah kendaraan yang melintas dilengkapi stiker atau tidak
seperti selama diberlakukannya KPP, mungkin bisa menjadi alternatif.
Tetapi dari sisi pemanfaatan sumber daya manusia, tentu saja itu
merupakan pemborosan yang luar biasa.
Cara yang mungkin bisa dipikirkan adalah memasang kamera
pengintai di pintu-pintu masuk kawasan. Jika itu yang dipilih, maka
ukuran, warna dan di mana stiker harus dipasang, menjadi penting.
***
SETELAH aspek teknis terpecahkan, persoalan berikut adalah
transparansi perolehan dan pemanfaatan uang yang diperoleh dari
penjualan stiker. Idenya, dana yang terkumpul dari penjualan stiker
itu terutama akan dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas dan
kuantitas kendaraan umum di Jakarta. "Semacam subsidi silang,
begitulah," kata Ali Wongso.
Subsidi silang bisa diartikan sebagai "yang kaya membantu yang
kekurangan". Dalam hal ini pemilik kendaraan yang bermaksud melintas
di kawasan itu setelah diberlakukannya sistem stiker berarti telah
membantu masyarakat yang relatif kurang mampu yang harus
berdesak-desakan di dalam bus pengap.
Persoalannya adalah, bagaimana masyarakat yang telah rela
"menyumbang" itu tahu, bantuannya telah dipakai sesuai tujuan semula.
Jika dilihat dari kebiasaan mereka selama ini memakai jasa joki
Rp 2.000 per hari, artinya mereka sebulan rata-rata mengeluarkan
minimal Rp 40.000.
Teoritis seharusnya rela membayar stiker seharga Rp 40.000
asalkan jelas dijamin kelancarannya. Yang menjadi soal baru adalah
jika tarif stiker itu terlalu rendah sehingga peminatnya sangat
besar, dan kemacetan terjadi seperti sebelum diberlakukan KPP. Karena
itu, soal tarif ini lalu menjadi titik krusial yang harus dipikirkan
secara cermat.
Barangkali persoalan krusialnya bukan pada besarnya harga stiker,
tetapi pada aspek kepercayaan pada Pemda sebagai pengelola dana.
Sebab dari pengalaman selama ini, dana-dana publik yang dikumpulkan
dari pengorbanan masyarakat sering tidak jelas pemanfaatannya. Paling
tidak, jarang ada pertanggungjawaban secara rutin dari pengelola dana
kepada masyarakat.
Dalam masyarakat yang semakin kritis, tidak bisa tidak
pertanggungjawaban itu menjadi penting untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah. Jika masyarakat bisa melihat langsung
apa hasil dari pengorbanannya, mereka akan rela membayar sedikit
lebih mahal.
Terakhir, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat,
keikutsertaan swasta dalam sistem stiker itu sebaiknya juga terbuka,
dari sejak tender sampai pembagian tugas dan hasil antara swasta dan
pemerintah daerah. (msh)
Sumber: Kompas, 1 Februari 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar