Jumat, 29 Mei 2015

Sistem Stiker Digagas: Jangan Mengulang Kesalahan KPP (Tulisan lama)

KEBIJAKAN Pemda DKI tentang kawasan pembatasan penumpang (three in one) memang istimewa sejak awal. Paling tidak, perhatian yang diberikan Kompas terhadap pelaksanaan KPP itu sangat istimewa. Betapa tidak, sepanjang lima tahun masa uji coba dan diberlakukannya KPP, Kompas membuat dua kali penelitian dan sekali liputan evaluasi.

Sebelum KPP diujicobakan, Kompas melakukan penelitian tentang sikap masyarakat terhadap rencana pemberlakuan KPP dan bagaimana tindakan mereka jika KPP diberlakukan. Sasaran penelitiannya adalah karyawan yang bekerja di kantor-kantor di kawasan KPP. Lalu ketika uji coba KPP sudah berlangsung setahun, Kompas membuat liputan evaluasi tentang pelaksanaan KPP.
Dan ketika KPP hampir berusia lima tahun, Kompas kembali melakukan penelitian tentang sikap masyarakat kelas menengah Jakarta terhadap pelaksanaan KPP selama itu serta bagaimana perilaku mereka dalam melintasi KPP pada jam-jam yang ditentukan.

Meski kedua penelitian itu dilakukan dengan metode dan kerangka penelitian yang berbeda, tetapi hasilnya ternyata konsisten. Yakni masyarakat, baik pengguna maupun bukan pengguna KPP, sama-sama tidak setuju diberlakukannya KPP. Dalam pandangan mereka kemacetan di kawasan itu tetap terjadi.

Kalaupun kemacetan berkurang, itu terjadi karena kemacetan dipindahkan ke jalan-jalan lain yang sebelumnya tidak pernah macet. Lihat saja antrean kendaraan panjang dan berdesak-desakan di jalur Jl Casablanca - Satrio KH Mas Mansyur - Abdul Muis setiap pagi. Pemandangan yang sama terjadi di jalan Warung Buncit - Tendean - Wolter Monginsidi atau jalan arteri Pondok Indah - Pejompongan.

Fenomena lain yang menyertai pelaksanaan KPP adalah munculnya ratusan joki yang setiap pagi mewarnai jalan-jalan menuju KPP. Fenomena itulah yang barangkali tidak terbayangkan sebelumnya.

Soal lain yang juga mengganjal pelaksanaan KPP adalah adanya ketidaksiapan landasan hukum yang harus menyertai kebijakan itu. Surat Keputusan Gubernur dianggap tidak cukup kuat untuk menjerat para pelanggar yang pada awal-awal pelaksanaan KPP bermaksud "nakal" dan mengakali petugas.

Setelah Pengadilan Negeri tidak mau menyidangkan kasus-kasus pelanggaran KPP dan kalangan pakar hukum mempersoalkannya, Pemda bermaksud membuat peraturan daerah (Perda) untuk memberi landasan hukum yang kuat. Tetapi entah mengapa, Perda itu tidak pernah muncul. Dan landasan hukum yang kemudian dipakai adalah Perda No 11/1988 tentang ketertiban umum.

***

SINGKATNYA, pada awal-awalnya pelaksanaan KPP terkesan Pemda DKI kedodoran menghadapi berbagai bentuk ketidaksetujuan, kontroversi, dan kritik pedas dari berbagai kalangan. Meski pada akhirnya KPP itu berlangsung selama lima tahun, namun akhirnya harus diganti dengan kebijakan lain yang dipandang lebih realistis.

Tentu kebijakan baru -sistem stiker- itu nantinya tidak mengalami nasib yang sama dengan KPP. Dengan kata lain, jangan sampai pengalaman KPP terulang kembali pada sistem stiker yang sampai sekarang juga belum jelas benar konsepnya.

Justru karena belum ditentukan kapan waktu persisnya pelaksanaan sistem stiker itu, sekarang masih terbuka kesempatan bagi Pemda untuk lebih matang merumuskan dan mensosialisasikan konsepnya. Lebih dari itu adalah sikap akomodatif Pemda untuk menerima dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat, serta merevisinya bila dianggap perlu.

Tampaknya, sistem stiker akan berjalan lebih mulus dibanding KPP selama ini. Setidaknya, ganjalan dari DPRD akan lebih kecil. Petunjuknya, setidaknya dua ketua komisi di DPRD DKI menyatakan dukungannya.

Ketua Komisi D, Ir Ali Wongso HS kepada Kompas mengaku sudah sejak awal mengusulkan sistem stiker. Hal yang sama juga dikemukakan Ketua Komisi C, H Amarullah Asbah kepada Antara menanggapi rencana penggantian KPP dengan sistem stiker. "Sistem three in one sebenarnya sejak dulu saya usulkan untuk diganti dengan konsep stiker," katanya.

***
 
AGAR sistem stiker nantinya bisa berjalan mulus, memang masih banyak hal yang harus disiapkan. Aspek hukum tampaknya bisa cepat diselesaikan setelah mendapat dukungan dari DPRD. "Apalagi kalau yang mau dipakai sebagai dasar hukum adalah Keppres, bisa lebih cepat lagi" kata Ali Wongso.

Persoalan pertama yang harus segera diselesaikan adalah konsep sistem stiker itu sendiri. Kejelasan konsep bukan hanya pada penanganan teknis di lapangan seperti bagaimana dan di mana mendapatkan stiker, berapa harga stiker, di mana stiker harus dipasang, bagaimana pengawasannya, dan seterusnya. Persoalan yang tidak kalah penting adalah transparansi dan pertanggungjawaban uang yang diperoleh dari penjualan stiker. Bahkan dituntut juga transparansi dalam tender jika perusahaan swasta mau dilibatkan.

Soal stiker itu siapa yang mencetak dan seperti apa bentuknya, barangkali itu persoalan mudah. Tetapi, di sini pun harus dibayangkan kemungkinan terjadinya pemalsuan stiker. Tehnologi percetakan dan fotocopy kini memudahkan orang yang bermaksud tidak baik.

Sebelum bisa memasang stiker, tentu masyarakat harus diberitahu di mana dan bagaimana mendapatkan stiker. Lokasi dan cara pembelian harus dipikirkan secara cermat supaya masyarakat mudah mendapatkan dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas itu sendiri. Memasang loket-loket di jalan atau suatu tempat sebelum masuk ke kawasan stiker, tentu bukan cara yang tepat.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana pengawasan terhadap kendaraan yang mau masuk kawasan stiker itu. Di sini, sistem yang diterapkan tidak boleh sekadar memindahkan kemacetan ke jalan-jalan yang mau masuk ke kawasan stiker.

Karena itu, memasang gardu-gardu di ujung jalan masuk kawasan stiker bukanlah cara yang bijaksana. Mengerahkan petugas untuk mengamati apakah kendaraan yang melintas dilengkapi stiker atau tidak seperti selama diberlakukannya KPP, mungkin bisa menjadi alternatif. Tetapi dari sisi pemanfaatan sumber daya manusia, tentu saja itu merupakan pemborosan yang luar biasa.

Cara yang mungkin bisa dipikirkan adalah memasang kamera pengintai di pintu-pintu masuk kawasan. Jika itu yang dipilih, maka ukuran, warna dan di mana stiker harus dipasang, menjadi penting.

***

SETELAH aspek teknis terpecahkan, persoalan berikut adalah transparansi perolehan dan pemanfaatan uang yang diperoleh dari penjualan stiker. Idenya, dana yang terkumpul dari penjualan stiker itu terutama akan dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas kendaraan umum di Jakarta. "Semacam subsidi silang, begitulah," kata Ali Wongso.

Subsidi silang bisa diartikan sebagai "yang kaya membantu yang kekurangan". Dalam hal ini pemilik kendaraan yang bermaksud melintas di kawasan itu setelah diberlakukannya sistem stiker berarti telah membantu masyarakat yang relatif kurang mampu yang harus berdesak-desakan di dalam bus pengap.

Persoalannya adalah, bagaimana masyarakat yang telah rela "menyumbang" itu tahu, bantuannya telah dipakai sesuai tujuan semula. Jika dilihat dari kebiasaan mereka selama ini memakai jasa joki Rp 2.000 per hari, artinya mereka sebulan rata-rata mengeluarkan minimal Rp 40.000.

Teoritis seharusnya rela membayar stiker seharga Rp 40.000 asalkan jelas dijamin kelancarannya. Yang menjadi soal baru adalah jika tarif stiker itu terlalu rendah sehingga peminatnya sangat besar, dan kemacetan terjadi seperti sebelum diberlakukan KPP. Karena itu, soal tarif ini lalu menjadi titik krusial yang harus dipikirkan secara cermat.

Barangkali persoalan krusialnya bukan pada besarnya harga stiker, tetapi pada aspek kepercayaan pada Pemda sebagai pengelola dana. Sebab dari pengalaman selama ini, dana-dana publik yang dikumpulkan dari pengorbanan masyarakat sering tidak jelas pemanfaatannya. Paling tidak, jarang ada pertanggungjawaban secara rutin dari pengelola dana kepada masyarakat.

Dalam masyarakat yang semakin kritis, tidak bisa tidak pertanggungjawaban itu menjadi penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Jika masyarakat bisa melihat langsung apa hasil dari pengorbanannya, mereka akan rela membayar sedikit lebih mahal.

Terakhir, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat, keikutsertaan swasta dalam sistem stiker itu sebaiknya juga terbuka, dari sejak tender sampai pembagian tugas dan hasil antara swasta dan pemerintah daerah. (msh)




Sumber: Kompas, 1 Februari 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar