Jumat, 29 Mei 2015

Antara Harga Diri dan Gantungan Hidup (tulisan lama)

TEMPAAN keras pedagang kaki lima yang setiap saat harus berhadapan dengan ketidakpastian membuat mereka solid sebagai sebuah kelompok. Namun, sebagai individu mereka bebas menentukan keputusan pribadinya, juga dalam bersaing sesama pedagang.

Persaingan dikembalikan kepada kemampuan pribadi untuk menentukan harga yang dianggapnya memberikan keuntungan. Rajali, pedagang pakaian di Pulogadung, misalnya, bisa menentukan harga celana Rp 17.000 padahal pedagang di sebelahnya menjual dengan harga Rp 15.000 per potong.
Tidak ada rasa sakit hati ketika calon pembeli yang sudah menawar di tempatnya pada akhirnya membeli di sebelahnya karena harga yang lebih miring. Pertimbangannya sederhana saja, bahwa rezeki itu sudah diatur oleh Yang di Atas.

Logika yang bermain di situ adalah logika sederhana, bahwa selisih harga jual dan harga pembelian itulah pertimbangan utama seorang pedagang melepas atau menahan barangnya. Orang lain menjual lebih murah, barangkali karena sebelumnya membeli barang yang sama itu dengan harga yang juga lebih murah.

Perbandingan selisih harga beli dan jual ini jelas terlihat pada pedagang loak kaki lima di Jatinegara. Murjito (50), asal Jember, mengatakan, ia membeli kipas angin rusak seharga Rp 5.000. Kipas angin atau barang loak lainnya, seperti tape dibeli dari siapa saja yang mau menjual barang-barang rusak dan tukang abu gosok yang sering menukarkan barang bekas dengan abu gosok dari rumah ke rumah.
Setelah diperbaiki, menurut Murjito, kipas angin dapat dijual seharga Rp 20.000. Untuk memperbaiki kipas angin tersebut, biasanya Murjito minta bantuan teman-temannya juga. "Kalo hidup, kipas anginnya laku, kalau tidak, ya tekor," katanya.

Bahkan ketika harga barang terus merayap naik seperti sekarang ini, manajemen harga seperti itu masih dipertahankan. Kalau harga jualnya tidak bisa untuk membeli barang yang sama? "Ibaratnya keuntungan kita yang dikurangi," kata Amad (39), pedagang di Tanahabang.

Melihat banyaknya pedagang yang tiba-tiba saja muncul di Tanahabang ketika pemerintah membebaskan mereka berjualan selama bulan Ramadhan ini, Amad juga tidak peduli. Ia tidak merasa terganggu ketika ada pedagang baru yang tiba-tiba mendirikan tenda di depannya.

Ia juga tidak peduli apakah pedagang baru tersebut adalah pedagang dari Tanahabang, dari tempat lain, atau pedagang yang benar-benar baru. "Tak perlu lah ngurusin orang lain, ngurus diri sendiri saja sudah susah," lanjutnya.

Apakah dengan demikian hubungan antar pedagang lalu sama sekali tidak hangat? Justru sangat hangat. Apalagi sebagian mereka mempunyai hubungan kekerabatan, pertemanan, atau paling tidak diikat oleh kampung halaman yang sama? Saling pinjam barang atau uang antar mereka adalah hal yang sangat biasa.

***

SEBAGAI kelompok, pedagang kaki lima mempunyai sikap yang sama menghadapi petugas penertiban. Yakni sikap untuk menghindari urusan dengan mereka. Karena itu, kucing-kucingan dengan mereka lalu menjadi strategi bisnis yang handal.

Ketika terlihat ada penertiban, pedagang akan dengan cepat menyelamatkan dagangannya. Tetapi begitu petugas pergi, dengan cepat pula mereka kembali menggelar dagangannya.

Hanya saja, peruntungan setiap pedagang tidak selalu sama. Amad yang sudah hampir sepuluh tahun berdagang belum pernah sekalipun terkena penertiban. Sebaliknya Firman yang baru berdagang tiga tahun justru sudah tiga kali terkena. Itu artinya harus keluar uang untuk menebus kembali barang. Sekali tebus ia perlu Rp 10.000 - Rp 15.000. Bahwa sebagian barangnya ternyata raib, itu juga bukan hal aneh. "Tetapi biasanya hanya sedikit kok," lanjutnya seperti maklum.

Sebagai kelompok yang selalu was-was dan sering berhadapan dengan -paling tidak menyaksikan- petugas penertiban, mereka bisa menggambarkan dengan persis bagaimana para petugas itu bertindak. Menurut Amad, tidak selamanya mereka bersikap kasar, atau sewenang-wenang dalam menertibkan. Kalau pun mereka berbuat kasar, itu juga karena pedagangnya membandel.

Di Tanahabang, misalnya, Walikota Jakarta Pusat hanya menyediakan lokasi berdagang di sisi kanan jalan Jati Bunder dan Fachrudin dari arah Stasiun Tanahabang. Lokasi tersebut telah diberi pembatas yang jelas. Tetapi yang terjadi sekarang, kedua sisi kanan dan kiri jalan tersebut dipenuhi pedagang, sehingga hanya tersisa cukup untuk satu kendaraan. Akibatnya tentu saja lalulintas menjadi macet sepanjang hari.

Kemacetan yang kemudian diikuti kepadatan manusia yang tidak tahan berlama-lama dalam kendaraan umum itu lah yang diharapkan pedagang. Mereka berharap agar orang yang lalu lalang itu mau melirik dagangannya. "Syukur membeli," kata Yanto, pedagang yang lain.

Itu lah sebabnya, kenapa banyak pedagang dari sisi kanan jalan yang kemudian menggelar dagangannya -nyabang, istilah mereka- di sisi kiri jalan. Sebab, lazimnya orang turun dari sebelah kiri. Dengan berjualan di kiri jalan, artinya mereka berusaha mendekatkan diri pada calon pembeli.

***

KESADARAN bahwa mereka sebenarnya melanggar peraturan dan ketertiban itulah sebenarnya yang membuat mereka kucing-kucingan dengan petugas penertiban. Sebab, apa pun alasannya -entah sudah membayar retribusi, uang kebersihan, uang keamanan, dan sejenisnya, kalau mereka tertangkap mereka selalu berada dalam posisi lemah yang tidak mungkin membela diri.

Persoalan mendasar yang mereka hadapi adalah persoalan perut, urusan kebutuhan manusia yang paling penting. Persoalan yang mau tidak mau harus dipenuhi sebelum ia bisa memenuhi kebutuhan yang lain. Apa pun risikonya, mereka akan berusaha mati-matian mempertahankan apa yang sudah di tangannya. "Kalau boleh milih, saya juga mau jadi pegawai," kata Amad yang tamatan SLTA di Padang.

Deri (23), pedagang aksesori wanita di Senen, menceritakan, di Bandung ia sudah berkali-kali mencari pekerjaan di pabrik-pabrik atau perusahaan, tetapi sulit sekali diterima. Terakhir, ia bekerja di bagian mesin kapal. Namun, ia tidak tahan karena pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan minatnya. "Jarang pulang, satu bulan berlayar, dua hari di darat. Gajinya Rp 450.000 per bulan," katanya.

Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini, Amad tidak membayangkan apa yang akan terjadi seandainya pemerintah tidak memberikan kebebasan bagi pedagang kaki lima untuk berusaha. "Coba bayangkan, berapa ribu orang yang tertampung di Tanahabang ini saja?" tanyanya.

Bukankah setiap tahun ada ratusan ribu angkatan kerja yang tidak tertampung oleh gerbong kereta api pembangunan? Dan kesadaran akan segala keterbatasan itulah yang memaksa Amad pada akhirnya harus mempertahankan usaha kaki lima yang sudah dijalaninya bertahun-tahun.

Hanya saja, sampai sekarang ia belum tahu pasti apakah sesudah lebaran nanti ia juga masih bebas berusaha. "Kalau tidak, ya kembali kucing-kucingan dengan petugas," jawabnya.

Baginya, usaha kaki lima itu adalah gantungan hidup yang harus dipertahankan. "Kalau menertibkannya dengan kasar, persoalannya menjadi lain. Itu soal harga diri," lanjutnya. Dan soal perut dan harga diri itulah yang setiap saat bisa meledak jika perlakuan tidak manusiawi mereka terima.

***

MENGUTIP berita yang didengar dan dilihat dari televisi, ia menyatakan bahwa ribuan buruh dan tenaga kerja di-PHK (putus hubungan kerja), dirumahkan, petani sulit bertanam karena hujan masih jarang, Amad merasa bersyukur bahwa ia masih bisa berusaha dengan halal.

Karena itu wajar saja kalau kemudian ia mengharapkan agar pemerintah lebih arif melihat usaha kaki lima ini di kemudian hari. Harapan yang tidak muluk, yakni sekadar diberi kepastian tempat dan waktu berusaha. "Jangan kami dikejar-kejar seperti maling," katanya.

Kalau memang tidak boleh berdagang di satu tempat, ia berharap pemerintah menyediakan tempat lain yang memang cocok untuk pedagang kaki lima. "Kami tidak butuh tempat yang bagus seperti di gedung-gedung tinggi yang malah tidak didatangi pembeli," katanya mengutip rencana pemerintah mengharuskan pengelola gedung untuk menyediakan tempat bagi pedagang kaki lima.

Yang mereka inginkan adalah tempat usaha yang memungkinkan banyak orang datang ke tempat tersebut. Tempat yang lokasinya berdekatan dengan pusat-pusat keramaian seperti pasar, supermarket, atau terminal. Karena itu, setiap kali pemerintah membangun sebuah gedung publik yang akan menjadi pusat keramaian rutin, di dalamnya sebaiknya dimasukkan pula rencana pengembangan usaha kaki lima. (msh/bb)


Sumber: Kompas 11 Januari 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar