TEMPAAN keras pedagang kaki lima yang setiap saat harus berhadapan
dengan ketidakpastian membuat mereka solid sebagai sebuah kelompok.
Namun, sebagai individu mereka bebas menentukan keputusan pribadinya,
juga dalam bersaing sesama pedagang.
Persaingan dikembalikan kepada kemampuan pribadi untuk menentukan
harga yang dianggapnya memberikan keuntungan. Rajali, pedagang pakaian
di Pulogadung, misalnya, bisa menentukan harga celana Rp 17.000
padahal pedagang di sebelahnya menjual dengan harga Rp 15.000 per
potong.
Tidak ada rasa sakit hati ketika calon pembeli yang sudah menawar
di tempatnya pada akhirnya membeli di sebelahnya karena harga yang
lebih miring. Pertimbangannya sederhana saja, bahwa rezeki itu sudah
diatur oleh Yang di Atas.
Logika yang bermain di situ adalah logika sederhana, bahwa selisih
harga jual dan harga pembelian itulah pertimbangan utama seorang
pedagang melepas atau menahan barangnya. Orang lain menjual lebih
murah, barangkali karena sebelumnya membeli barang yang sama itu
dengan harga yang juga lebih murah.
Perbandingan selisih harga beli dan jual ini jelas terlihat pada
pedagang loak kaki lima di Jatinegara. Murjito (50), asal Jember,
mengatakan, ia membeli kipas angin rusak seharga Rp 5.000. Kipas
angin atau barang loak lainnya, seperti tape dibeli dari siapa saja
yang mau menjual barang-barang rusak dan tukang abu gosok yang sering
menukarkan barang bekas dengan abu gosok dari rumah ke rumah.
Setelah diperbaiki, menurut Murjito, kipas angin dapat dijual
seharga Rp 20.000. Untuk memperbaiki kipas angin tersebut, biasanya
Murjito minta bantuan teman-temannya juga. "Kalo hidup, kipas anginnya
laku, kalau tidak, ya tekor," katanya.
Bahkan ketika harga barang terus merayap naik seperti sekarang
ini, manajemen harga seperti itu masih dipertahankan. Kalau harga
jualnya tidak bisa untuk membeli barang yang sama? "Ibaratnya
keuntungan kita yang dikurangi," kata Amad (39), pedagang di
Tanahabang.
Melihat banyaknya pedagang yang tiba-tiba saja muncul di
Tanahabang ketika pemerintah membebaskan mereka berjualan selama bulan
Ramadhan ini, Amad juga tidak peduli. Ia tidak merasa terganggu ketika
ada pedagang baru yang tiba-tiba mendirikan tenda di depannya.
Ia juga tidak peduli apakah pedagang baru tersebut adalah pedagang
dari Tanahabang, dari tempat lain, atau pedagang yang benar-benar
baru. "Tak perlu lah ngurusin orang lain, ngurus diri sendiri saja
sudah susah," lanjutnya.
Apakah dengan demikian hubungan antar pedagang lalu sama sekali
tidak hangat? Justru sangat hangat. Apalagi sebagian mereka mempunyai
hubungan kekerabatan, pertemanan, atau paling tidak diikat oleh
kampung halaman yang sama? Saling pinjam barang atau uang antar mereka
adalah hal yang sangat biasa.
***
SEBAGAI kelompok, pedagang kaki lima mempunyai sikap yang sama
menghadapi petugas penertiban. Yakni sikap untuk menghindari urusan
dengan mereka. Karena itu, kucing-kucingan dengan mereka lalu menjadi
strategi bisnis yang handal.
Ketika terlihat ada penertiban, pedagang akan dengan cepat
menyelamatkan dagangannya. Tetapi begitu petugas pergi, dengan cepat
pula mereka kembali menggelar dagangannya.
Hanya saja, peruntungan setiap pedagang tidak selalu sama. Amad
yang sudah hampir sepuluh tahun berdagang belum pernah sekalipun
terkena penertiban. Sebaliknya Firman yang baru berdagang tiga tahun
justru sudah tiga kali terkena. Itu artinya harus keluar uang untuk
menebus kembali barang. Sekali tebus ia perlu Rp 10.000 - Rp 15.000.
Bahwa sebagian barangnya ternyata raib, itu juga bukan hal aneh.
"Tetapi biasanya hanya sedikit kok," lanjutnya seperti maklum.
Sebagai kelompok yang selalu was-was dan sering berhadapan dengan
-paling tidak menyaksikan- petugas penertiban, mereka bisa
menggambarkan dengan persis bagaimana para petugas itu bertindak.
Menurut Amad, tidak selamanya mereka bersikap kasar, atau
sewenang-wenang dalam menertibkan. Kalau pun mereka berbuat kasar, itu
juga karena pedagangnya membandel.
Di Tanahabang, misalnya, Walikota Jakarta Pusat hanya menyediakan
lokasi berdagang di sisi kanan jalan Jati Bunder dan Fachrudin dari
arah Stasiun Tanahabang. Lokasi tersebut telah diberi pembatas yang
jelas. Tetapi yang terjadi sekarang, kedua sisi kanan dan kiri jalan
tersebut dipenuhi pedagang, sehingga hanya tersisa cukup untuk satu
kendaraan. Akibatnya tentu saja lalulintas menjadi macet sepanjang
hari.
Kemacetan yang kemudian diikuti kepadatan manusia yang tidak tahan
berlama-lama dalam kendaraan umum itu lah yang diharapkan pedagang.
Mereka berharap agar orang yang lalu lalang itu mau melirik
dagangannya. "Syukur membeli," kata Yanto, pedagang yang lain.
Itu lah sebabnya, kenapa banyak pedagang dari sisi kanan jalan
yang kemudian menggelar dagangannya -nyabang, istilah mereka- di sisi
kiri jalan. Sebab, lazimnya orang turun dari sebelah kiri. Dengan
berjualan di kiri jalan, artinya mereka berusaha mendekatkan diri pada
calon pembeli.
***
KESADARAN bahwa mereka sebenarnya melanggar peraturan dan
ketertiban itulah sebenarnya yang membuat mereka kucing-kucingan
dengan petugas penertiban. Sebab, apa pun alasannya -entah sudah
membayar retribusi, uang kebersihan, uang keamanan, dan sejenisnya,
kalau mereka tertangkap mereka selalu berada dalam posisi lemah yang
tidak mungkin membela diri.
Persoalan mendasar yang mereka hadapi adalah persoalan perut,
urusan kebutuhan manusia yang paling penting. Persoalan yang mau tidak
mau harus dipenuhi sebelum ia bisa memenuhi kebutuhan yang lain. Apa
pun risikonya, mereka akan berusaha mati-matian mempertahankan apa
yang sudah di tangannya. "Kalau boleh milih, saya juga mau jadi
pegawai," kata Amad yang tamatan SLTA di Padang.
Deri (23), pedagang aksesori wanita di Senen, menceritakan, di
Bandung ia sudah berkali-kali mencari pekerjaan di pabrik-pabrik atau
perusahaan, tetapi sulit sekali diterima. Terakhir, ia bekerja di
bagian mesin kapal. Namun, ia tidak tahan karena pekerjaan tersebut
tidak sesuai dengan minatnya. "Jarang pulang, satu bulan berlayar, dua
hari di darat. Gajinya Rp 450.000 per bulan," katanya.
Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini, Amad tidak
membayangkan apa yang akan terjadi seandainya pemerintah tidak
memberikan kebebasan bagi pedagang kaki lima untuk berusaha. "Coba
bayangkan, berapa ribu orang yang tertampung di Tanahabang ini saja?"
tanyanya.
Bukankah setiap tahun ada ratusan ribu angkatan kerja yang tidak
tertampung oleh gerbong kereta api pembangunan? Dan kesadaran akan
segala keterbatasan itulah yang memaksa Amad pada akhirnya harus
mempertahankan usaha kaki lima yang sudah dijalaninya bertahun-tahun.
Hanya saja, sampai sekarang ia belum tahu pasti apakah sesudah
lebaran nanti ia juga masih bebas berusaha. "Kalau tidak, ya kembali
kucing-kucingan dengan petugas," jawabnya.
Baginya, usaha kaki lima itu adalah gantungan hidup yang harus
dipertahankan. "Kalau menertibkannya dengan kasar, persoalannya
menjadi lain. Itu soal harga diri," lanjutnya. Dan soal perut dan
harga diri itulah yang setiap saat bisa meledak jika perlakuan tidak
manusiawi mereka terima.
***
MENGUTIP berita yang didengar dan dilihat dari televisi, ia
menyatakan bahwa ribuan buruh dan tenaga kerja di-PHK (putus hubungan
kerja), dirumahkan, petani sulit bertanam karena hujan masih jarang,
Amad merasa bersyukur bahwa ia masih bisa berusaha dengan halal.
Karena itu wajar saja kalau kemudian ia mengharapkan agar
pemerintah lebih arif melihat usaha kaki lima ini di kemudian hari.
Harapan yang tidak muluk, yakni sekadar diberi kepastian tempat dan
waktu berusaha. "Jangan kami dikejar-kejar seperti maling," katanya.
Kalau memang tidak boleh berdagang di satu tempat, ia berharap
pemerintah menyediakan tempat lain yang memang cocok untuk pedagang
kaki lima. "Kami tidak butuh tempat yang bagus seperti di
gedung-gedung tinggi yang malah tidak didatangi pembeli," katanya
mengutip rencana pemerintah mengharuskan pengelola gedung untuk
menyediakan tempat bagi pedagang kaki lima.
Yang mereka inginkan adalah tempat usaha yang memungkinkan banyak
orang datang ke tempat tersebut. Tempat yang lokasinya berdekatan
dengan pusat-pusat keramaian seperti pasar, supermarket, atau
terminal. Karena itu, setiap kali pemerintah membangun sebuah gedung
publik yang akan menjadi pusat keramaian rutin, di dalamnya sebaiknya
dimasukkan pula rencana pengembangan usaha kaki lima. (msh/bb)
Sumber: Kompas 11 Januari 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar