Jumat, 29 Mei 2015

Lebih Jauh dengan Romo I SANDYAWAN SUMARDI SJ

PENGANTAR REDAKSI

RUMAH di Jl Arus Dalam No 1, Cawang, Jakarta Timur, itu hampir tidak pernah sepi. Di situlah Ignatius Sandyawan Sumardi SJ yang pernah dituduh membantu gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD), menjalankan kegiatannya sebagai Direktur Institut Sosial Jakarta. Di kantor itu pula anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan sering berkumpul. 

Pria kurus berkacamata yang bernama kecil Kuncoro, anak pasangan Andreas Sumardi (pensiunan letnan satu polisi) dan almarhum Suzana, yang akrab dipanggil Romo Sandy atau "Romo Pemulung" itu tak bisa lepas dari urusan anak-anak jalanan dan mereka yang tersingkir. Oleh Romo Sandy yang lahir 23 November 1958, mereka yang terpinggirkan ini merasa diwong-ke (dimanusiakan).

Atas kegiatannya menyertai mereka yang dimarjinalkan, pastor Jesuit yang ditahbiskan tahun 1988 ini, sering berhadapan dengan aparat keamanan. Ia pernah ditahan di Kodim Jakarta Timur, dilempar kursi oleh aparat saat membantu masyarakat Pedongkelan yang digusur dan rumah-rumahnya dibakar. Ketika di Yogyakarta, ia membina tukang-tukang becak dan membantu budayawan dan rohaniwan YB Mangunwijaya Pr mendampingi masyarakat Kedungombo yang tanahnya akan digunakan untuk waduk.

"Berbagai pengalaman itu saya tuangkan dalam skripsi saya di STF Driyarkara berjudul Hak-hak Asasi Manusia Kaum Buruh," ujar penerima Anugerah Yap Thiam Hien 1996 ini. Berikut petikan wawancaranya di Cawang.

BISA diceritakan tentang adanya granat di halaman kantor ini?

Granat itu ditemukan di sebelah dalam pagar oleh Hari Santoso, satu-satunya anggota Tim Relawan yang tinggal di sini, hari Minggu (31/5). Pukul 15.00 ia keluar, granat itu sudah ada. Granat bernomor seri GT/5PE-A2 Pind buatan Pindad itu pinnya sudah dicabut, dan sempat dipegang dikira mainan.

Saya sendiri sedang di Pondok Labu karena ada latihan sekitar 120 anggota Tim Relawan untuk bidang medis, litigasi, dan informasi. Saya baru pulang pukul 18.00 dan sempat ikut-ikutan pegang. Lalu saya bertanya ke Polda Metro Jaya. Dikatakan, kalau tidak segera lapor, besok bisa diserbu dengan tuduhan menyimpan bahkan mungkin merakit granat. Pola seperti ini sering terjadi pada kelompok-kelompok lain sebelumnya, misalnya anak PRD yang di Klender. Modelnya begitu.

Lalu datang Kapolres, Kapolsek, Koramil, dan pasukan Gegana. Pada saat pengambilan, jelas mereka takut, apalagi banyak warga yang melihat. Saya sendiri diperiksa sebagai saksi sampai pukul 24.00 di Polsek Makassar. Kalau itu mainan, tentu petugas akan langsung ambil. Apalagi waktu itu ada tentara yang bilang, ini granat betul.

Ini bagian dari teror? 

Teror sudah sering kami terima, baik lewat telepon gelap maupun ancaman. Mereka minta agar kegiatan kami dihentikan. Tetapi ini bukan sekadar pekerjaan administratif, tetapi menyangkut kehidupan manusia.

Kabarnya, Anda juga pernah akan diculik ketika mengadakan diskusi buku di Bandung 10 April lalu?
Ketika itu saya diundang teman-teman NU dan kerukunan agama di Bandung, mau mengulas buku Belajar dari Mistik Perjuangan Para Korban, Pertanggungjawaban Moral Gerakan Suaka Kemanusiaan Insiden Berdarah 27 Juli 1996 yang merupakan pledoi saya di Pengadilan Negeri Bekasi. Juga diundang Prof Dr Sahetapy dari Unair dan Dr Parwati Supangat dari Unpad Bandung.
Kebetulan, hari itu adalah Jumat Agung. Setelah diskusi saya akan memimpin ibadat di Gereja Salib Suci, Jl Kamuning. Tetapi, sebelum kebaktian, sekitar pukul 20.30, datang petugas dan mengatakan, saya tidak boleh khotbah. Lho kok lucu. Aku iki imam kok ora entuk kotbah, dan saya tetap khotbah bahkan saya tambahi, 'tadi saya dilarang khotbah'.

Ketika ibadat selesai, saya diberitahu mau "diambil". Kontan anak-anak muda NU dan beberapa pemuda melindungi saya. Karena banyak orang mau melindungi, terjadi geret-geretan. Ternyata, sopir saya di depan sudah ditunggui intel. Saya lalu dibawa lewat pintu belakang dan dimasukkan minibus oleh tiga orang. Celakanya, saya tidak kenal tiga orang ini. Dan mobil berjalan amat kencang.

Lalu saya bertanya, "Anda dari mana?" "Dari Angkatan Darat." Terlintas dalam benak saya, apa ini penculikan? Tapi, orang-orangnya halus. "Romo, kami sebenarnya bisa kena konsekuensi, bisa kena pecat karena mengantar Romo. Tapi tenang saja, nanti akan sampai di suatu tempat, langsung masuk, kunci pintu, dan kunci gerbang."

Sampai di tempat tujuan, sekitar 20 menit kemudian, datang delapan orang dengan dua Kijang, menggedor-gedor pintu. Satpam di situ sudah diberitahu, dan berteriak, "Ini susteran, sudah malam. Kunci dibawa suster. Romo Sandyawan tidak tinggal di sini." Keesokan harinya, saya tidak mau konyol, saya pulang dengan kendaraan lain dan dikawal orang-orang Bandung, pulang ke Jakarta. Mobil saya tinggal di Bandung.

Soal granat, sudah disebut sebagai granat-granatan? 

Bila Polda lalu mengatakan itu granat-granatan, kami memahami kondisi psikologis polisi dalam konstelasi politik sekarang. Seminggu sebelumnya saya dipanggil Kasi Intel berkaitan data sementara korban insiden sesudah penembakan mahasiswa Trisakti disusul kerusuhan dan pembantaian massal yang ditayangkan di internet. Jumlahnya saat itu mencapai 1.188 orang meninggal. Rupanya pembantu-pembantu Kapolri sudah mendapatkannya. Mereka mengatakan, posisi polisi dalam keadaan sulit.

Saya pun lalu mengajukan permintaan, minta izin untuk boleh menginvestigasi tahanan yang dikategorikan sebagai penjarah di Polda, dan diizinkan. Saya datang disertai dua pengacara, Rita Kalibonso SH dan Suhana Natawilwana SH. Ternyata pimpinannya tidak ada. Mereka ingin me-release data korban menurut versi polisi.

Lalu? 

Persoalannya kemudian dalam hubungan dengan para tahanan yang dituduh menjarah. Mereka mengeluh, dilimpahi begitu saja sekitar 800 tahanan yang tersebar di polres-polres, dengan prosedur yang semrawut. Ada yang dengan bukti radio kecil, sandal dsb, sehingga legal standing-nya tidak jelas. Mereka juga marah karena massa yang disebut penjarah dan ditahan itu ada yang dalam keadaan luka-luka dan tidak baik. Nanti kalau ada yang sakit, mati, bagaimana? Dan itu berlangsung seminggu, membuat mereka tidak tidur. Akhirnya, para penjarah itu mulai dilepas.

Benarkah data yang dikumpulkan Tim Relawan juga banyak dipakai Komnas HAM?
Data ini akan terus berkembang, bila ada perubahan, apa Komnas HAM juga akan mengacu ke sana? 

Terus terang, kami merasa, bila Komnas HAM dan pers Indonesia sudah memuatnya, ya sudah. Tetapi yang menjadi persoalan adalah keluarga korban, lingkungan korban. Ini concern kami. Itu yang sama sekali belum selesai, sekaligus bom waktu yang siap meledak lagi. Kami kenal betul dinamika, karakter kaum miskin urban, juga serupa itu. Maka kalau tidak ada suatu solusi yang betul-betul, bahkan menyapa, memberi alternatif, atau memprioritaskan mereka, saya kira akan terjadi lagi kerusuhan. Pemecahan masalah yang personal, dibantu dsb, itu tidak cukup.

SEBAGAI rumah yang menjadi Posko Tim Relawan, begitu banyak orang keluar-masuk. Malam itu, beberapa relawan baru pulang setelah mengumpulkan data. "Mereka baru dari lapangan," kata Romo Sandy.

Bisa menceritakan tentang Tim Relawan untuk Kemanusiaan? 

Sebenarnya berawal dari kasus 27 Juli, fact finding saja. Waktu saya diadili, esensi kasus sebenarnya bukan tuduhan melindungi orang-orang PRD, tapi mengungkapkan data korban. Saat itu, sebelumnya saya sudah diingatkan Palang Merah Internasional. Pasti akan dipukul, dan benar. Saya disebut aktor intelektual.

Kepentingan munculnya Tim Relawan itu praktis saja, yaitu koordinasi data, kronologi yang ada pada kita, ada di LBH dan tempat lain, disatukan daripada semrawut. Dan saat itu kita memproklamirkan diri sebagai bagian supporting system Komnas HAM.

Ketika saya diadili kegiatan agak vakum dan kami membuat koperasi solidaritas Tim Relawan, dan masih berjalan hingga sekarang. Sekretariatnya di Kalyanamitra. Ketika teman-teman aktivis diculik, kami membentuk lagi, dan beberapa orang baru datang seperti Ibu Karlina Leksono Supelli dari Suara Ibu Peduli dan beberapa LSM. Gus Dur dan beberapa tokoh lain masih eksis.

Sebagai Sekretaris Tim Relawan, saya lalu mencoba membuat formasi dengan spektrum cukup jelas. Visinya dirumuskan sebagai sebuah gerakan kemanusiaan prodemokrasi yang teguh pada prinsip "Orde Hati Nurani", bersifat independen, non-sektarian, non-partisan, terbuka, konstitusional, cinta bangsa dan Tanah Air.

Sifat kerja seperti "palang merah", tanpa pandang bulu, mengutamakan korban kekerasan politik di negeri ini, menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran dan keadilan, tidak memandang SARA, berpegang teguh para prinsip gerakan aktif tanpa kekerasan (Ahimsa), membantu (supporting system) Tim Fact Finding Komnas HAM.

Anggotanya dari mana?

Dari mana-mana. Pengalaman ketika di DPR beberapa hari lalu bersama mahasiswa, membuat anggota Tim Relawan juga banyak dari mahasiswa. Jumlahnya sekitar 120, terbagi dalam berbagai divisi seperti informasi/investigasi/pendataan, divisi hukum, divisi medis, divisi logistik, divisi pendampingan korban dan sebagainya.

Bagaimana pengalaman anggota tim dalam mencari data? 

Saya selalu mendengar atau ikut sendiri ke lapangan. Anggota putri seringkali mereka menangis ketika pulang setelah melihat kondisi korban dan keluarga korban. Entah mereka didamprat keluarga yang kehilangan anaknya, entah mendengar kisah-kisah memilukan. Misalnya, kisah empat anak yang biasa main njot-njotan di kasur air di Plaza Sentral Klender, dan mati hangus. Juga ada ibu yang diteriaki "anakmu di dalam" saat api sudah berkobar. Ibu itu masuk dan tak kembali lagi. Padahal anaknya ada di rumah tetangga. Kisah-kisah memilukan ini banyak sekali.

Sekarang kami mencoba mendata sekaligus mendekati korban. Kami amat ingin membantu di bidang ekonomi semaksimal mungkin, karena kami juga mendistribusikan dana spontan dari masyarakat yang terkumpul selama dan sesudah kerusuhan. Ini tawaran alternatif, di mana ada ruang bagi masyarakat untuk ikut terlibat. Yang paling mudah, bantuan karitatif dulu, berupa bantuan medis, obat-obatan dsb, yang memang amat dibutuhkan sekarang. Bantuan medis ini juga ada di Bandung dan Surabaya.

Untuk bidang logistik, ada pangan, nasi bungkus untuk korban. Saat kerusuhan terjadi, kami sudah memikirkan kemungkinan itu, lalu telepon sana-sini. Bantuan masyarakat luar biasa. Ibu-ibu pengajian dari Ciputat, datang menyerahkan nasi bungkus dan uang. Konsumsi itu selain untuk korban juga untuk para tenaga medis di RSCM, juga keluarga korban yang membesuk mayat-mayat hangus bergelimpangan.

Selain itu, masyarakat kita sering menjadi korban isu, yang akibatnya amat destruktif. Untuk itu, melalui layanan informasi yang jernih, antara lain data korban dan pemetaan pola kerusuhan, cepat-cepat kami release secara informal ke masyarakat. Kami juga membuat buletin Pos Relawan, berisi informasi sederhana yang tiap hari di-up date dan disebarkan di 16 posko yang tersebar di mana-mana. Semula hanya ada tiga posko, di depan kantor PBNU. Di sana menyatu Forum Komunikasi Gerakan Pemuda NU, bersama mahasiswa STF Driyarkara dan Carolus. Lalu pos di depan Carolus dan IKIP Jakarta. Tetapi model yang ideal ada di UPN Pondok Labu. Ketika masyarakat dan mahasiswa akan diadu oleh provokator, kita mengusulkan kepada mahasiswa untuk mendekati RT/RW dan pemuka informal. Hasilnya bagus sekali, posko mahasiswa berbasis masyarakat lingkungan. Di Pondok Gede, ada Posko Solidaritas Buddhist dan sebagainya.
Saya sendiri memang tidak ada masalah untuk masuk ke mana-mana. Begitu pula banyak orang datang ke sini. Kemarin datang Pak Ali Assegaff, pemimpin muslim yang paling berpengaruh dan punya massa ribuan di Cawang sini. Pak Ali mengatakan, "Warga di sini mendukung Romo. Jangan takut soal granat itu. Kami jaga di sini." Lalu Pak Haji di belakang sini juga begitu dekat dengan kami.

Pak Ali mengajak kerja sama lebih jauh, bahkan mengajak refleksi teologis, bersama-sama. Kepada Pak Ali saya tawarkan, untuk mengadakan doa 40 hari untuk korban yang meninggal. Pak Ali setuju mencarikan tempat dan rencananya akan diadakan tanggal 20 Juni. Lalu Pak Ali mengatakan untuk memanggil teman-teman. Nanti diadakan bersama-sama.

Keterlibatan masyarakat ini artinya apa?

Ini merupakan suatu ungkapan kebangkitan moral masyarakat sesudah kerusuhan. Masyarakat banyak yang merasa dicekam ketakutan, terutama dari warga etnis Cina. Mereka takut, tak berani keluar rumah. Ini tentu destruktif terhadap kejiwaan.

Bagaimana pendataan atas korban itu dilakukan? 

Selain Tim Relawan terjun ke lapangan, kami juga bekerja sama dengan berbagai pihak. Anggota tim ada yang di lokasi mencermati pelaksanaan evakuasi, ada yang di rumah sakit, dan tempat lain, lalu kontak ke sini menyampaikan jumlah. Data itu lalu dicross check dengan laporan anggota masyarakat yang hilang. Ternyata dari hitungan di rumah sakit saja, ada 970 yang mati, meski release dari kamar mayat RSCM sebelum mayat-mayat dikubur dikatakan hanya 200 orang. Namun, yang paling sulit diikuti adalah, begitu mudahnya orang mengambil mayat, asal orang itu mengaku kenal. Bahkan, ada yang langsung mengambil di lokasi. Ini susahnya. Kelihatannya, gampang sekali menghilangkan mayat.

Bagaimana Anda menganalisis kerusuhan yang lalu? 

Kebetulan, tanpa sengaja, kami menemukan seorang pemuda di depan kantor sebuah aparat. Muka dan mulutnya bengkak. Ia dalam keadaan limbung. Lalu dibawa ke sini, kita tolong. Menurut pengakuannya, ia salah satu dari pelaku, dan sempat dilatih selama dua minggu dalam kelompok. Kelompok itu bisa berdelapan atau 16, dan bertugas membakar gedung. Kata-kata yang keluar amat indoktrinatif. Dalam kelimbungannya, ia seperti membuat peta baru dan mengatakan, ini titik yang dibakar.

Ragu akan keterangannya, kami mengundang seorang psikiater, lalu bersama-sama kami bawa keliling lokasi naik mobil. Ternyata kesadarannya mengenai tempat dan waktu masih bagus. Tetapi kalau ditanya siapa namanya, ia akan selalu menyebut tiga versi nama. Siapa nama sebenarnya, tidak jelas. Ia juga mengaku sempat menjalani latihan. Ingat instrukturnya dan tempat ia dilatih. Ini merupakan keanehan. Atas keterangannya itu, kami sempat ragu dan berpikir, jangan-jangan intel dan membuat cerita yang tidak-tidak. Tetapi kondisinya terus turun. Si psikiater juga bingung, obat macam apa yang ia telan. Sampai lima hari, kodisinya turun terus.

Tetapi, mencermati kerusuhan-kerusuhan yang lalu, ada pola-pola yang tetap. Awalnya, disebar desas-desus di masyarakat, dikabarkan ada pembakaran di sana. Lalu ada provokator yang ciri-cirinya seperti pelajar berseragam, tetapi berwajah tua. Mereka mulai membakar ban dan kayu untuk menarik massa ke luar. Para provokator ini lalu menguasai daerah sasaran, membuka dan mengambil barang, untuk menunjukkan ke massa, gampang kok mengambil barang. Dan massa pun lalu tertarik untuk ikut.

BERBAGAI kerusuhan ini sebenarnya mencerminkan gejala apa? 

Bagi saya, ini jelas ada pertarungan intra-elite. Persoalannya sebenarnya vertikal, tetapi dampaknya memakan korban masyarakat menengah ke bawah. Dan yang parah sekali, masyarakat mengalami disintegrasi, saling bertabrakan dan memakan, secara horisontal.

Dari sudut kemanusiaan, apakah ini bisa berarti tidak adanya penghargaan pada martabat kehidupan?
Dari segi itu, ya. Di sini, kami sudah menerima banyak orang dalam keadaan depresi berat, akibat keluarganya mati terbakar, diperkosa, dan hartanya dijarah. Bagi saya, berbagai peristiwa ini merupakan puncak krisis dari peradaban kita dan menjadi persoalan iman. Saya sendiri, meski secara fisik tidak kena, tetapi karena dekat dengan korban, ikut stres dan sakit hati. Saya biasa melihat dan mengurusi mayat. Tetapi, ketika melihat mayat-mayat di RSCM, benar-benar shock, terasa absurd.

Yang menyedihkan, penghormatan pada mayat-mayat ini juga tidak ada. Apa karena sudah diberi stigma oleh pemerintah bahwa ini penjarah, lalu tidak hormat pada jenazah? Bahkan, memperlakukan sebagai jenazah manusia biasa saja, tidak. Tidak ada pemimpin agama yang hadir saat menjelang keberangkatan ke kuburan maupun waktu pemakaman. Terus terang, saya tidak hanya bingung dengan para pemimpin politik, tetapi juga dengan masyarakat. Penghargaan kita terhadap nyawa orang amat kurang. Kita kejam sekali terhadap rakyat biasa, dengan ikut-ikutan memberi stigma seperti penjarah atau perusuh. Tetapi di lain pihak, kita begitu pemaaf terhadap pejabat. Di sini saya mempertanyakan quality of mercy. Seakan-akan pembantaian demi pembantaian terjadi di negeri ini, tetapi cepat lupa, tertutup dan tertumpuk kasus baru.

Sering ada ajakan, lupakanlah dan maafkanlah tragedi yang lalu. Namun, ungkapan ini sering menjadi legitimasi sebuah rezim. Ini sering terjadi. Atas nama rekonsiliasi nasional, lupakan tragedi masa lalu. Dengan begini, pelaku utama tragedi itu, yang seharusnya diproses secara hukum, justru bisa menjadi pahlawan baru. Saya merasa, kualitas pengampunan yang hidup di masyarakat ini sedang diguncang.

DI tengah-tengah pembicaraan, terdengar suara anak kecil. "Romo, saya pulang dulu ya..." Romo Sandy bangkit, mengangkat anak itu dan mencium kedua pipinya. "Anak itu adalah Angga Sukrasana."

Siapa dia? 

Ibunya tersesat di Jakarta, menjadi gelandangan, lalu pacaran dengan pemuda jalanan, dan mengandung. Suatu malam, pukul 00.30, hujan gerimis, ayahnya menelepon saya, memberitahu pacarnya mau melahirkan. Mereka tinggal di lingkungan sampah di Prumpung. Atapnya triplek yang disangga tiang. Saya lalu mencari obor, karena gelap. Anak itu benar-benar lahir di sampah. Lalu ibu-ibu pemulung menyediakan kain-kain gombal untuk menghangatkan si bayi. Esok paginya, mungkin didorong rasa tanggung jawab atau apa, bapaknya mencuri gerobak lapak di situ, tertangkap, digebuki dan ditahan di Polsek. Ibu dan anak itu lalu ditampung di kantor.

Ketika suaminya ditahan, ibunya tidak tahan hidup di kantor, lalu kabur dengan anaknya dan kita temukan di daerah Jatinegara, di tempat yang tidak baik untuk perkembangan anak itu. Anak itu lalu kami ambil. Ternyata ibunya malah menitipkan kepada kami. Jadilah anak ini "anak ramai-ramai". Kadang, anak ini dibawa pulang ke tempat kos oleh karyawan di sini, siangnya dibawa ke kantor. Itu berlangsung sekitar lima bulan. Lalu, kakak saya, Mas Benny Sumardi tertarik dan mau mengambil anak. Agaknya, kehadiran Angga menjadi berkah bagi keluarga Mas Benny.

Anak itu juga menjadi simbol dalam persidangan yang lalu. Ia masuk begitu saja, sampai diusir hakim. Tetapi ia duduk saja, dan tidak mau pergi. Hakim lalu diberitahu, ini anak Mas Benny, berikut latar belakangnya, karena dijadikan salah satu bahan pembelaannya Mas Benny. Mas Benny memparalelkan tindakan saya terhadap Budiman Sudjatmiko dan Angga, sehingga kisah manusiawinya muncul.

Angga anak cerdas. Pernah meraih juara I Lomba Busana Muslim di TK Mutiara dan juara II lomba serupa di sebuah mal.

Kegiatan Anda banyak berkait dengan orang yang dipinggirkan. Apa dasarnya? Apa karena Anda seorang rohaniwan? 

Saya malah sering lupa saya ini pastor. Kalau sudah menghadapi pekerjaan dan masalah seperti ini, saya tidak terlalu memikirkan saya pastor atau bukan. Ya kalau sedang capai, deleg-deleg, sambil merenung, berdoa, saya sadar sebagai pastor ha...ha...ha...

Dalam arti, saya tidak terlalu mempedulikan perbedaan itu. Ini reaksi manusiawi saja saat melihat orang lain menderita. Sebenarnya sederhana sekali. Mungkin juga ini terbawa karena dalam perjalanan hidup saya, sering bergaul dengan masyarakat, dekat dengan korban. Itu semua membuat saya merasa lebih bahagia. ***

Pewawancara: Marcus Suprihadi Trias Kuncahyono Tonny D Widiastono


Sumber: Kompas, 21 Juni 1998
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar