Jumat, 29 Mei 2015

T e y e k ( Cerpen M Santjuk Suprihadi)


ENTAH kenapa, setiap kali anakku minta didongengkan menjelang bobok, yang terlintas di benakku selalu nama satu ini: Teyek! Ya.. Teyek. Sebuah nama yang selalu berada di urutan pertama memoriku setiap kali aku mengenang masa kecilku.

Nama Teyek yang sebenarnya adalah Hartoyo. Tapi entah bagaimana cerita dan asal muasalnya ia dipanggil Teyek. Mungkin sekali ini perubahan fonem dari Hartoyo menjadi Harteye yang kemudian disingkat menjadi Teye lalu diucapkan Teyek agar terasa lebih mantap.

Kemungkinan itu memang masuk akal, karena pemuda-pemuda desa kami yang merantau ke Jakarta ketika itu sering pulang dengan membawa bahasa baru, Bahasa Orang Kote, Orang Betawi yang pengucapan vokal a pada suku kata terakhir diucapkan menjadi e. Seperti kota menjadi kote, saya menjadi saye, gua menjadi gue, percaya menjadi percaye, dan sebagainya. Maka nama Hartoyo pun menjadi Harteye lalu menjadi Teyek!

Teyek tinggal di sebelah rumahku. Usianya terpaut beberapa tahun saja di atasku. Sehingga, sejak kecil kami sudah biasa main bersama. Di luar kegiatan rutin seperti ke sawah, sementara saya sekolah, hampir setiap saat Teyek berada bersamaku. Tidak siang tidak malam.

Teyek memang sempat sekolah sampai kelas dua atau tiga SD. Awalnya dia sekelas di atasku, tetapi karena tidak naik di kelas dua, ia kemudian menjadi satu kelas denganku. Kami selalu berangkat sekolah bersama. Berjalan kaki seperti layaknya anak desa di tahun 60-an akhir.

Perjalanan pergi dan pulang sekolah selalu menyenangkan. Tidak jarang kami sengaja memutar jalan untuk bisa mencuri mangga keong di kebun belakang rumah Mbah Broto yang galak. Kalau ketahuan dan Mbah Broto berteriak-teriak sambil mengejar-ngejar, kami malah meledeknya. Lemparan batu atau galah ke arah kami malah kami anggap dagelan. Kami pun tertawa-tawa riang.

Siang hari sepulang sekolah biasanya dia juga langsung bermain di rumahku. Bersama teman-teman sebaya lainnya, seperti Sutris Nyemik, Widodo Gandhil, Dodo Ndondel, Saliman Pethok, dan banyak lagi lainnya, kami biasa main gundhu, benthik, atau ganefo, hingga sampai jam makan siang.
Ibu biasa menyediakan makanan untuk kami semua. Maklum di masa-masa awal pemerintahan Orde Baru itu hidup betul-betul susah. Bisa makan sehari sekali saja sudah termasuk mewah. Hampir semua warga kampung bergantung pada ibu yang ketika itu jadi juragan batik.

Jangan tanya menu makannya apa. Tentu seadanya. Apa saja yang bisa dipetik atau digali dari pekarangan rumah bisa menjadi santapan. Beras sangat langka, sehingga kami biasa makan thiwul atau nasi beras merah bantuan dari Amerika yang rasanya amat-amat sepa. Juga jenang bekatul (kulit ari hasil sosohan beras) yang mestinya untuk pakan ternak dengan lauk goreng teri.

Untuk menyumpal asupan karbohidrat, ibu biasa masak sayur bobor daun turi muda dicemplungi singkong, ubi, atau uwi. Kadang sayurnya lodeh batang lompong (talas kebun), kadang gudangan, urapan, atau bahkan hanya krawu (kelapa parut dibumbui).

Sederhana memang, tetapi sungguh selalu menyenangkan, karena kami selalu makan beramai-ramai dalam kebersamaan. Guyub dan dalam perasaan senasib.

Selepas makan siang, barulah kami menunaikan pekerjaan wajib kami sebagai anak kampung, yakni mencari rumput untuk ternak kami masing-masing. Tidak seperti teman-temanku yang punya banyak sapi dan kambing, di rumah cuma ada satu kambing saja. Itu pun baru dibeli beberapa minggu sebelumnya, karena saya merengek-rengek ingin bisa menggembala seperti teman-teman. Padahal alasan sesungguhnya adalah agar saya bisa main layang-layang sepuasnya.

Mencari rumput bagiku adalah pekerjaan yang paling menjengkelkan, terutama kalau musim kemarau, saat mana rumput sangat langka. Kalau pun ada, kering-kering. Akan tetapi, pekerjaan itu harus tetap aku lakukan. Kalau tidak, ibu mengancam akan menjual kambing itu lagi.

Beruntung, Teyek dan kawan-kawan sangat bisa memahami kemalasanku. Mereka dengan senang hati membantu mencarikan rumput. Biasanya, setelah keranjang mereka hampir penuh, mereka kemudian bersama-sama mengisi keranjangku sampai kira-kira setengah.

Maklum, kambingku hanya satu, sehingga cukuplah rumput setengah keranjang untuk pakan pada malam dan pagi hari saja, karena sore hari biasanya kambing itu saya angon. Setelah itu mereka kembali merumput untuk memenuhi keranjang masing-masing. Sampai betul-betul penuh.
Karena selalu dibantu mencari rumput, aku lama-lama keenakan. Kalau mencari rumput aku selalu membawa buku. Kadang buku pelajaran, kadang PR, kadang juga bacaan yang populer saat itu "Kuncung lan Bawuk".

Mengingat itu, sekarang aku sering merasa berdosa pada mereka, teman-temanku yang baik itu. Terutama Teyek. Sebab, atas bantuan mereka, sekarang saya boleh dibilang jadi orang. Punya pekerjaan mapan di Jakarta dan hidup dalam kecukupan meski tak kaya-kaya amat. Sedangkan Teyek dan kawan-kawan umumnya tak lulus SD dan sekarang harus banting tulang merantau ke mana-mana untuk sekadar bisa menghidupi keluarganya.

* * *

Di antara kenangan masa lalu, kebiasaan mencuri batang benguk atau mbayung adalah pengalaman yang tak pernah bisa terlupakan. Betapa tidak, kami mencuri tanaman yang sedang hijau-hijaunya itu di sawah salah satu di antara kami sendiri hanya agar kami bisa piknik sehari full untuk merayakan Lebaran.

Ceritanya, pada awal-awal 70-an hari raya Lebaran memang jatuh di bulan-bulan kemarau. Biasanya, setelah musim panen padi para petani lalu menanami sawahnya dengan kacang benguk atau kacang panjang. Selain untuk menambah penghasilan di lahan tadah hujan, tanaman kacang-kacangan akan memberikan hara baru (belakangan saya tahu di akar tanaman kacang-kacangan ada bintil-bintil kecil yang mengandung nitrogen) bagi sawah kami. Tak heran kala itu tanaman padi kami selalu subur meski tak menggunakan pupuk buatan pabrik.

Kacang benguk, kacang panjang, dan juga kacang kedelai yang ditanam di awal musim kemarau memang memberikan warna tersendiri bagi kehidupan di desa kami. Ketika semua pepohonan di pekarangan meranggas untuk menghemat penguapan dari dalam tubuhnya, di sawah masih terdapat hijau-hijauan. Maka berjalan-jalan di pematang sawah di sore hari menjadi sangat menyenangkan. Apalagi bagi anak-anak seperti kami. Bermain layang-layang sambil menggembala adalah kebahagiaan tersendiri.

Selain menyejukkan, keberadaan tanaman kacang yang rimbun menghijau juga menyenangkan bagi kami, karena biasanya di bawahnya ada banyak jangkrik juga. Terlebih juga biasanya di dekatnya banyak rumput yang cukup hijau untuk pakan ternak kami.
Maka, hari terakhir Ramadhan biasanya menjadi hari yang paling mendebarkan bagi kami. Di satu sisi kami tetap harus memperhatikan hewan ternak kami, tetapi di sisi lain kami ingin sekali menikmati keriaan hari Lebaran. Sebab, hanya di hari itulah kami punya baju baru dan uang cukup untuk bisa piknik.

Piknik itu pun biasanya kami lakukan dengan berjalan kaki sejauh 10-an kilometer. Tujuannya ke Rowo Jombor, sebuah rawa buatan Belanad untuk menampung air hujan guna mengairi sawah-sawah di sejumlah desa. Di sana kami bisa menumpang rakit dari tepi timur ke tepi barat.

Meski hanya menumpang rakit, senangya hati kami luar biasa. Selain banyak orang yang menumpang, semuanya berpakaian baru, sambil makan kacang rebus kami juga bisa mendengarkan lagu-lagu terbaru dari tape recorder yang diputar si pemilik rakit. Maklum, ketika itu radio saja masih menjadi barang mewah di desa-desa di Jawa sekali pun.

Menumpang rakit hanyalah kesenangan sesaat. Yang lebih memberikan keriaan justru pada perjalanan pergi pulangnya. Dengan uang di kantong yang tak seberapa, rasanya hari itu kami benar-benar seperti pangeran yang kaya raya. Di sepanjang perjalanan kami bisa membeli minuman segar bernama cao atau dawet dan es lilin dijajakan di hampir setiap jengkal tanah.

Lapar? Tak masalah! Hari Lebaran ketika itu benar-benar seperti pesta rakyat. Banyak ibu-ibu yang biasanya bertani tiba-tiba beralih profesi untuk sehari sampai seminggu menjadi pedagang makanan atau minuman. Mereka biasa membuka dasaran di sepanjang pinggir jalan yang banyak dilalui anak-anak dan muda-mudi yang berpiknik. Tidak hanya di jalan raya antarkecamatan atau antardesa, bahkan di kampung-kampung pun banyak pedagang dadakan itu.

Jenis makanannya tentu saja bukan seperti sekarang. Cukup pecel dan gudangan dengan lauk pauk khas desa, tempe/tahu bacem, bakwan, enteng-enteng singkong, dan krupuk. Minumannya ya cao, es lilin, dawet, atau paling mewah limun!

Nah, untuk bisa menikmati keriaan sepanjang hari penuh itulah, di hari terakhir Ramadhan kami harus memutar otak bagaimana mendapatkan pakan ternak untuk sepanjang hari besok. Sambil mencari rumput, biasanya kami menyusun rencana jahat untuk mencuri rumpun benguk dan kacang panjang (mbayung) malam hari nanti.

Pernah, suatu saat kami berencana akan menyikat benguk di sawah Mbah Joyo. Selain rumpun benguknya subur sekali, Mbah Dipo juga tak punya anak sebaya kami, sehingga kalau pun kami membabat benguknya tidak ada yang dirugikan di antara kami.

Seperti layaknya permufakatan jahat, malam itu sekitar pukul 18.30 kami semua sudah berkumpul di rumahku. Di bawah pimpinan Teyek, kami menuju sawah Mbah Joyo sambil menyembuyikan sabit di balik sarung.

Setiap gerumbul benguk kami dekati dan kami bolak balik, pura-pura mencari jangkrik. Akan tetapi, sesungguhnya sabit kami bekerja cekatan memangkas pangkal batang benguk itu. Sebelum meninggalkan gerumbulan itu, kami mengikat salah satu pucuknya dengan pucuk dari gerumbul di sebelahnya. Begitulah yang kami lakukan dari satu gerumbul ke gerumbul lain.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara bentakan. Rupanya Mbah Joyo curiga pada aksi kami. Kami pun lari terbirit-birit. Mbah Joyo berusaha mengejar dengan napas ngos-ngosan sambil teriak-teriak. Tapi mana mampu dia mengejar kami yang masih anak-anak. Maka, meski gagal mendapatkan pakan, kami merasa sangat senang bisa mempermainkan Mbah Joyo yang dikenal galak di kampung kami.

Gagal di sawah Mbah Joyo, kami harus mencari sasaran baru. Prinsipnya, malam ini harus dapat pakan untuk kebutuhan sehari supaya besok kami bisa piknik. Rapat kilat kami lakukan di perempatan jalan, tetapi nyaris menemui jalan buntu, karena tak menemukan sawah siapa yang bebas dari pengawasan pemiliknya pada malam hari itu.

Akhirnya, Teyek tampil sebagai pahlawan. "Sawahku saja," katanya tegas. Kok? "Gak ada yang jaga. Wong bapak lagi sakit," katanya meyakinkan kami.

Tanpa pikir panjang, kami pun menyerbu mbayung dan benguk di sawah Teyek. Setelah sebagian besar tanaman terpangkas, kami mengambil keranjang dari rumah dan kemudian kembali ke sawah untuk menggulung tanaman itu bersama-sama. Tak sampai lima menit semua keranjang kami penuh.
Kalau mengingat itu, mata saya sering berkaca-kaca. Sebab, baru di kemudian hari saya menyadari bahwa pengorbanan Teyek itu sungguh luar biasa besarnya. Demi kegembiraan kami sehari saja, dia merelakan tanaman di sawahnya kami babat habis.

Itu berarti dia dan keluarganya harus memupus harapan akan panen benguk dan kacang panjang yang sebenarnya juga tak seberapa tetapi cukup untuk menyambung hidup di musim kemarau. Saya lalu membayangkan betapa Yu Ndremo dan Pak Wongso, orangtua Teyek, hanya bisa merenungi sawahnya yang tiba-tiba kehilangan roh kehidupan...

Catatan: tulisan ini pernah dimuat di rubrik Oase Kompas.com 23 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar