Jumat, 29 Mei 2015

Pernyataan Sutiyoso Pancing Penggarap Lahan

Jakarta, Kompas
Pernyataan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang mengizinkan warga menggarap lahan tidur milik Pemda DKI selama masa krisis, telah memancing warga berbondong-bondong mengkapling, membabat rumput, dan menebangi pohon di kawasan Danau Pulomas dan Lapangan Pacuan Kuda Jakarta Timur. Penjagaan petugas dan aparat keamanan Pemda Kodya Jakarta Timur tidak menyurutkan warga untuk menggarap lahan tidur tersebut, bahkan sempat terjadi bentrokan antar mereka.
Dari pengamatan Kompas di lapangan, lahan tidur milik Pemda DKI di Pulomas Barat, Senin (10/8) masih dikuasai warga. Sekitar 65 warga RT 07 dan 08 RW 09 Kelurahan Kayu Jati telah lebih dari sepekan menggarap lahan di Pulomas Barat. Walaupun sempat dijaga petugas keamanan dan aparat Pemda Kodya Jaktim tetapi sampai kemarin warga masih terus menggarap lahan tersebut. Aktivitas warga tersebut kemudian terhenti karena terlibat bentrok fisik dengan petugas dan karyawan PT Pulomas Jaya, Minggu (9/8). Satu orang luka-luka dalam bentrokan tersebut (Kompas, 10/8).
Seperti diberitakan, Gubernur DKI mengatakan, selama krisis ekonomi warga boleh saja menggarap lahan tidur milik Pemda DKI asalkan untuk itu mendapat izin dari Pemda DKI. Sutiyoso menyatakan hal tersebut menanggapi penggarapan lahan di Pulomas Barat oleh sejumlah warga.
Bahkan pernyataan gubernur tersebut didukung oleh Wakil Ketua F-ABRI DPRD DKI Gafar Malik dan Agus Waluyo (F-KP) yang mengatakan, lahan tidur milik Pemda harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat (Kompas, 6/8). Namun sejauh ini, aturan dan prosedur perizinan yang dimaksudkan Pemda DKI untuk menggarap lahan tidur miliknya belum konkrit dan jelas.
Datang ramai-ramai
Namun di lapangan, seperti diungkapkan salah seorang penggarap, Ratna Tampubolon (54), pernyataan tersebut kemudian memancing warga untuk menggarap lahan tidur Pemda. Ratusan warga misalnya, sejak Kamis (6/8) datang dan kemudian mengkapling-kapling lahan di tepi danau Pulomas. Pada saat bersamaan, ratusan warga juga mengkapling lahan di pinggir Lapangan Pacuan Kuda, masih di kawasan Pulomas. Menurut seorang petugas parkir di depan SMU 21 Jaktim, para penggarap itu datang dengan menggunakan sepeda motor, mobil, maupun berjalan kaki. "Gara-gara Gubernur bilang kalau warga boleh menggarap lahan tidur sih," kata Ratna. Dia sendiri bersama 65 orang warga RT 07 dan 08/RW 9, Keluarahan Kayu Jati Pulogadung Jaktim yang menggarap lahan seluas 1,2 ha itu.
Sepanjang Senin (10/8) tidak terlihat lagi warga yang menggarap lahan di tepi Danau Sunter maupun di kawasan Lapangan Pacuan Kuda. Tali-tali rafia sebagai batas "kapling" memang masih terlihat. Sementara itu, di Pulomas Barat sekitar 65 orang warga masih terus menggarap lahan tidur milik Pemda.
Sebenarnya pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang penggunaan lahan kosong. (msh/ssd)


Sumber: 11 Agustus 1998

Lebih Jauh dengan Romo I SANDYAWAN SUMARDI SJ

PENGANTAR REDAKSI

RUMAH di Jl Arus Dalam No 1, Cawang, Jakarta Timur, itu hampir tidak pernah sepi. Di situlah Ignatius Sandyawan Sumardi SJ yang pernah dituduh membantu gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD), menjalankan kegiatannya sebagai Direktur Institut Sosial Jakarta. Di kantor itu pula anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan sering berkumpul. 

Pria kurus berkacamata yang bernama kecil Kuncoro, anak pasangan Andreas Sumardi (pensiunan letnan satu polisi) dan almarhum Suzana, yang akrab dipanggil Romo Sandy atau "Romo Pemulung" itu tak bisa lepas dari urusan anak-anak jalanan dan mereka yang tersingkir. Oleh Romo Sandy yang lahir 23 November 1958, mereka yang terpinggirkan ini merasa diwong-ke (dimanusiakan).

Atas kegiatannya menyertai mereka yang dimarjinalkan, pastor Jesuit yang ditahbiskan tahun 1988 ini, sering berhadapan dengan aparat keamanan. Ia pernah ditahan di Kodim Jakarta Timur, dilempar kursi oleh aparat saat membantu masyarakat Pedongkelan yang digusur dan rumah-rumahnya dibakar. Ketika di Yogyakarta, ia membina tukang-tukang becak dan membantu budayawan dan rohaniwan YB Mangunwijaya Pr mendampingi masyarakat Kedungombo yang tanahnya akan digunakan untuk waduk.

"Berbagai pengalaman itu saya tuangkan dalam skripsi saya di STF Driyarkara berjudul Hak-hak Asasi Manusia Kaum Buruh," ujar penerima Anugerah Yap Thiam Hien 1996 ini. Berikut petikan wawancaranya di Cawang.

BISA diceritakan tentang adanya granat di halaman kantor ini?

Granat itu ditemukan di sebelah dalam pagar oleh Hari Santoso, satu-satunya anggota Tim Relawan yang tinggal di sini, hari Minggu (31/5). Pukul 15.00 ia keluar, granat itu sudah ada. Granat bernomor seri GT/5PE-A2 Pind buatan Pindad itu pinnya sudah dicabut, dan sempat dipegang dikira mainan.

Saya sendiri sedang di Pondok Labu karena ada latihan sekitar 120 anggota Tim Relawan untuk bidang medis, litigasi, dan informasi. Saya baru pulang pukul 18.00 dan sempat ikut-ikutan pegang. Lalu saya bertanya ke Polda Metro Jaya. Dikatakan, kalau tidak segera lapor, besok bisa diserbu dengan tuduhan menyimpan bahkan mungkin merakit granat. Pola seperti ini sering terjadi pada kelompok-kelompok lain sebelumnya, misalnya anak PRD yang di Klender. Modelnya begitu.

Lalu datang Kapolres, Kapolsek, Koramil, dan pasukan Gegana. Pada saat pengambilan, jelas mereka takut, apalagi banyak warga yang melihat. Saya sendiri diperiksa sebagai saksi sampai pukul 24.00 di Polsek Makassar. Kalau itu mainan, tentu petugas akan langsung ambil. Apalagi waktu itu ada tentara yang bilang, ini granat betul.

Ini bagian dari teror? 

Teror sudah sering kami terima, baik lewat telepon gelap maupun ancaman. Mereka minta agar kegiatan kami dihentikan. Tetapi ini bukan sekadar pekerjaan administratif, tetapi menyangkut kehidupan manusia.

Kabarnya, Anda juga pernah akan diculik ketika mengadakan diskusi buku di Bandung 10 April lalu?
Ketika itu saya diundang teman-teman NU dan kerukunan agama di Bandung, mau mengulas buku Belajar dari Mistik Perjuangan Para Korban, Pertanggungjawaban Moral Gerakan Suaka Kemanusiaan Insiden Berdarah 27 Juli 1996 yang merupakan pledoi saya di Pengadilan Negeri Bekasi. Juga diundang Prof Dr Sahetapy dari Unair dan Dr Parwati Supangat dari Unpad Bandung.
Kebetulan, hari itu adalah Jumat Agung. Setelah diskusi saya akan memimpin ibadat di Gereja Salib Suci, Jl Kamuning. Tetapi, sebelum kebaktian, sekitar pukul 20.30, datang petugas dan mengatakan, saya tidak boleh khotbah. Lho kok lucu. Aku iki imam kok ora entuk kotbah, dan saya tetap khotbah bahkan saya tambahi, 'tadi saya dilarang khotbah'.

Ketika ibadat selesai, saya diberitahu mau "diambil". Kontan anak-anak muda NU dan beberapa pemuda melindungi saya. Karena banyak orang mau melindungi, terjadi geret-geretan. Ternyata, sopir saya di depan sudah ditunggui intel. Saya lalu dibawa lewat pintu belakang dan dimasukkan minibus oleh tiga orang. Celakanya, saya tidak kenal tiga orang ini. Dan mobil berjalan amat kencang.

Lalu saya bertanya, "Anda dari mana?" "Dari Angkatan Darat." Terlintas dalam benak saya, apa ini penculikan? Tapi, orang-orangnya halus. "Romo, kami sebenarnya bisa kena konsekuensi, bisa kena pecat karena mengantar Romo. Tapi tenang saja, nanti akan sampai di suatu tempat, langsung masuk, kunci pintu, dan kunci gerbang."

Sampai di tempat tujuan, sekitar 20 menit kemudian, datang delapan orang dengan dua Kijang, menggedor-gedor pintu. Satpam di situ sudah diberitahu, dan berteriak, "Ini susteran, sudah malam. Kunci dibawa suster. Romo Sandyawan tidak tinggal di sini." Keesokan harinya, saya tidak mau konyol, saya pulang dengan kendaraan lain dan dikawal orang-orang Bandung, pulang ke Jakarta. Mobil saya tinggal di Bandung.

Soal granat, sudah disebut sebagai granat-granatan? 

Bila Polda lalu mengatakan itu granat-granatan, kami memahami kondisi psikologis polisi dalam konstelasi politik sekarang. Seminggu sebelumnya saya dipanggil Kasi Intel berkaitan data sementara korban insiden sesudah penembakan mahasiswa Trisakti disusul kerusuhan dan pembantaian massal yang ditayangkan di internet. Jumlahnya saat itu mencapai 1.188 orang meninggal. Rupanya pembantu-pembantu Kapolri sudah mendapatkannya. Mereka mengatakan, posisi polisi dalam keadaan sulit.

Saya pun lalu mengajukan permintaan, minta izin untuk boleh menginvestigasi tahanan yang dikategorikan sebagai penjarah di Polda, dan diizinkan. Saya datang disertai dua pengacara, Rita Kalibonso SH dan Suhana Natawilwana SH. Ternyata pimpinannya tidak ada. Mereka ingin me-release data korban menurut versi polisi.

Lalu? 

Persoalannya kemudian dalam hubungan dengan para tahanan yang dituduh menjarah. Mereka mengeluh, dilimpahi begitu saja sekitar 800 tahanan yang tersebar di polres-polres, dengan prosedur yang semrawut. Ada yang dengan bukti radio kecil, sandal dsb, sehingga legal standing-nya tidak jelas. Mereka juga marah karena massa yang disebut penjarah dan ditahan itu ada yang dalam keadaan luka-luka dan tidak baik. Nanti kalau ada yang sakit, mati, bagaimana? Dan itu berlangsung seminggu, membuat mereka tidak tidur. Akhirnya, para penjarah itu mulai dilepas.

Benarkah data yang dikumpulkan Tim Relawan juga banyak dipakai Komnas HAM?
Data ini akan terus berkembang, bila ada perubahan, apa Komnas HAM juga akan mengacu ke sana? 

Terus terang, kami merasa, bila Komnas HAM dan pers Indonesia sudah memuatnya, ya sudah. Tetapi yang menjadi persoalan adalah keluarga korban, lingkungan korban. Ini concern kami. Itu yang sama sekali belum selesai, sekaligus bom waktu yang siap meledak lagi. Kami kenal betul dinamika, karakter kaum miskin urban, juga serupa itu. Maka kalau tidak ada suatu solusi yang betul-betul, bahkan menyapa, memberi alternatif, atau memprioritaskan mereka, saya kira akan terjadi lagi kerusuhan. Pemecahan masalah yang personal, dibantu dsb, itu tidak cukup.

SEBAGAI rumah yang menjadi Posko Tim Relawan, begitu banyak orang keluar-masuk. Malam itu, beberapa relawan baru pulang setelah mengumpulkan data. "Mereka baru dari lapangan," kata Romo Sandy.

Bisa menceritakan tentang Tim Relawan untuk Kemanusiaan? 

Sebenarnya berawal dari kasus 27 Juli, fact finding saja. Waktu saya diadili, esensi kasus sebenarnya bukan tuduhan melindungi orang-orang PRD, tapi mengungkapkan data korban. Saat itu, sebelumnya saya sudah diingatkan Palang Merah Internasional. Pasti akan dipukul, dan benar. Saya disebut aktor intelektual.

Kepentingan munculnya Tim Relawan itu praktis saja, yaitu koordinasi data, kronologi yang ada pada kita, ada di LBH dan tempat lain, disatukan daripada semrawut. Dan saat itu kita memproklamirkan diri sebagai bagian supporting system Komnas HAM.

Ketika saya diadili kegiatan agak vakum dan kami membuat koperasi solidaritas Tim Relawan, dan masih berjalan hingga sekarang. Sekretariatnya di Kalyanamitra. Ketika teman-teman aktivis diculik, kami membentuk lagi, dan beberapa orang baru datang seperti Ibu Karlina Leksono Supelli dari Suara Ibu Peduli dan beberapa LSM. Gus Dur dan beberapa tokoh lain masih eksis.

Sebagai Sekretaris Tim Relawan, saya lalu mencoba membuat formasi dengan spektrum cukup jelas. Visinya dirumuskan sebagai sebuah gerakan kemanusiaan prodemokrasi yang teguh pada prinsip "Orde Hati Nurani", bersifat independen, non-sektarian, non-partisan, terbuka, konstitusional, cinta bangsa dan Tanah Air.

Sifat kerja seperti "palang merah", tanpa pandang bulu, mengutamakan korban kekerasan politik di negeri ini, menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran dan keadilan, tidak memandang SARA, berpegang teguh para prinsip gerakan aktif tanpa kekerasan (Ahimsa), membantu (supporting system) Tim Fact Finding Komnas HAM.

Anggotanya dari mana?

Dari mana-mana. Pengalaman ketika di DPR beberapa hari lalu bersama mahasiswa, membuat anggota Tim Relawan juga banyak dari mahasiswa. Jumlahnya sekitar 120, terbagi dalam berbagai divisi seperti informasi/investigasi/pendataan, divisi hukum, divisi medis, divisi logistik, divisi pendampingan korban dan sebagainya.

Bagaimana pengalaman anggota tim dalam mencari data? 

Saya selalu mendengar atau ikut sendiri ke lapangan. Anggota putri seringkali mereka menangis ketika pulang setelah melihat kondisi korban dan keluarga korban. Entah mereka didamprat keluarga yang kehilangan anaknya, entah mendengar kisah-kisah memilukan. Misalnya, kisah empat anak yang biasa main njot-njotan di kasur air di Plaza Sentral Klender, dan mati hangus. Juga ada ibu yang diteriaki "anakmu di dalam" saat api sudah berkobar. Ibu itu masuk dan tak kembali lagi. Padahal anaknya ada di rumah tetangga. Kisah-kisah memilukan ini banyak sekali.

Sekarang kami mencoba mendata sekaligus mendekati korban. Kami amat ingin membantu di bidang ekonomi semaksimal mungkin, karena kami juga mendistribusikan dana spontan dari masyarakat yang terkumpul selama dan sesudah kerusuhan. Ini tawaran alternatif, di mana ada ruang bagi masyarakat untuk ikut terlibat. Yang paling mudah, bantuan karitatif dulu, berupa bantuan medis, obat-obatan dsb, yang memang amat dibutuhkan sekarang. Bantuan medis ini juga ada di Bandung dan Surabaya.

Untuk bidang logistik, ada pangan, nasi bungkus untuk korban. Saat kerusuhan terjadi, kami sudah memikirkan kemungkinan itu, lalu telepon sana-sini. Bantuan masyarakat luar biasa. Ibu-ibu pengajian dari Ciputat, datang menyerahkan nasi bungkus dan uang. Konsumsi itu selain untuk korban juga untuk para tenaga medis di RSCM, juga keluarga korban yang membesuk mayat-mayat hangus bergelimpangan.

Selain itu, masyarakat kita sering menjadi korban isu, yang akibatnya amat destruktif. Untuk itu, melalui layanan informasi yang jernih, antara lain data korban dan pemetaan pola kerusuhan, cepat-cepat kami release secara informal ke masyarakat. Kami juga membuat buletin Pos Relawan, berisi informasi sederhana yang tiap hari di-up date dan disebarkan di 16 posko yang tersebar di mana-mana. Semula hanya ada tiga posko, di depan kantor PBNU. Di sana menyatu Forum Komunikasi Gerakan Pemuda NU, bersama mahasiswa STF Driyarkara dan Carolus. Lalu pos di depan Carolus dan IKIP Jakarta. Tetapi model yang ideal ada di UPN Pondok Labu. Ketika masyarakat dan mahasiswa akan diadu oleh provokator, kita mengusulkan kepada mahasiswa untuk mendekati RT/RW dan pemuka informal. Hasilnya bagus sekali, posko mahasiswa berbasis masyarakat lingkungan. Di Pondok Gede, ada Posko Solidaritas Buddhist dan sebagainya.
Saya sendiri memang tidak ada masalah untuk masuk ke mana-mana. Begitu pula banyak orang datang ke sini. Kemarin datang Pak Ali Assegaff, pemimpin muslim yang paling berpengaruh dan punya massa ribuan di Cawang sini. Pak Ali mengatakan, "Warga di sini mendukung Romo. Jangan takut soal granat itu. Kami jaga di sini." Lalu Pak Haji di belakang sini juga begitu dekat dengan kami.

Pak Ali mengajak kerja sama lebih jauh, bahkan mengajak refleksi teologis, bersama-sama. Kepada Pak Ali saya tawarkan, untuk mengadakan doa 40 hari untuk korban yang meninggal. Pak Ali setuju mencarikan tempat dan rencananya akan diadakan tanggal 20 Juni. Lalu Pak Ali mengatakan untuk memanggil teman-teman. Nanti diadakan bersama-sama.

Keterlibatan masyarakat ini artinya apa?

Ini merupakan suatu ungkapan kebangkitan moral masyarakat sesudah kerusuhan. Masyarakat banyak yang merasa dicekam ketakutan, terutama dari warga etnis Cina. Mereka takut, tak berani keluar rumah. Ini tentu destruktif terhadap kejiwaan.

Bagaimana pendataan atas korban itu dilakukan? 

Selain Tim Relawan terjun ke lapangan, kami juga bekerja sama dengan berbagai pihak. Anggota tim ada yang di lokasi mencermati pelaksanaan evakuasi, ada yang di rumah sakit, dan tempat lain, lalu kontak ke sini menyampaikan jumlah. Data itu lalu dicross check dengan laporan anggota masyarakat yang hilang. Ternyata dari hitungan di rumah sakit saja, ada 970 yang mati, meski release dari kamar mayat RSCM sebelum mayat-mayat dikubur dikatakan hanya 200 orang. Namun, yang paling sulit diikuti adalah, begitu mudahnya orang mengambil mayat, asal orang itu mengaku kenal. Bahkan, ada yang langsung mengambil di lokasi. Ini susahnya. Kelihatannya, gampang sekali menghilangkan mayat.

Bagaimana Anda menganalisis kerusuhan yang lalu? 

Kebetulan, tanpa sengaja, kami menemukan seorang pemuda di depan kantor sebuah aparat. Muka dan mulutnya bengkak. Ia dalam keadaan limbung. Lalu dibawa ke sini, kita tolong. Menurut pengakuannya, ia salah satu dari pelaku, dan sempat dilatih selama dua minggu dalam kelompok. Kelompok itu bisa berdelapan atau 16, dan bertugas membakar gedung. Kata-kata yang keluar amat indoktrinatif. Dalam kelimbungannya, ia seperti membuat peta baru dan mengatakan, ini titik yang dibakar.

Ragu akan keterangannya, kami mengundang seorang psikiater, lalu bersama-sama kami bawa keliling lokasi naik mobil. Ternyata kesadarannya mengenai tempat dan waktu masih bagus. Tetapi kalau ditanya siapa namanya, ia akan selalu menyebut tiga versi nama. Siapa nama sebenarnya, tidak jelas. Ia juga mengaku sempat menjalani latihan. Ingat instrukturnya dan tempat ia dilatih. Ini merupakan keanehan. Atas keterangannya itu, kami sempat ragu dan berpikir, jangan-jangan intel dan membuat cerita yang tidak-tidak. Tetapi kondisinya terus turun. Si psikiater juga bingung, obat macam apa yang ia telan. Sampai lima hari, kodisinya turun terus.

Tetapi, mencermati kerusuhan-kerusuhan yang lalu, ada pola-pola yang tetap. Awalnya, disebar desas-desus di masyarakat, dikabarkan ada pembakaran di sana. Lalu ada provokator yang ciri-cirinya seperti pelajar berseragam, tetapi berwajah tua. Mereka mulai membakar ban dan kayu untuk menarik massa ke luar. Para provokator ini lalu menguasai daerah sasaran, membuka dan mengambil barang, untuk menunjukkan ke massa, gampang kok mengambil barang. Dan massa pun lalu tertarik untuk ikut.

BERBAGAI kerusuhan ini sebenarnya mencerminkan gejala apa? 

Bagi saya, ini jelas ada pertarungan intra-elite. Persoalannya sebenarnya vertikal, tetapi dampaknya memakan korban masyarakat menengah ke bawah. Dan yang parah sekali, masyarakat mengalami disintegrasi, saling bertabrakan dan memakan, secara horisontal.

Dari sudut kemanusiaan, apakah ini bisa berarti tidak adanya penghargaan pada martabat kehidupan?
Dari segi itu, ya. Di sini, kami sudah menerima banyak orang dalam keadaan depresi berat, akibat keluarganya mati terbakar, diperkosa, dan hartanya dijarah. Bagi saya, berbagai peristiwa ini merupakan puncak krisis dari peradaban kita dan menjadi persoalan iman. Saya sendiri, meski secara fisik tidak kena, tetapi karena dekat dengan korban, ikut stres dan sakit hati. Saya biasa melihat dan mengurusi mayat. Tetapi, ketika melihat mayat-mayat di RSCM, benar-benar shock, terasa absurd.

Yang menyedihkan, penghormatan pada mayat-mayat ini juga tidak ada. Apa karena sudah diberi stigma oleh pemerintah bahwa ini penjarah, lalu tidak hormat pada jenazah? Bahkan, memperlakukan sebagai jenazah manusia biasa saja, tidak. Tidak ada pemimpin agama yang hadir saat menjelang keberangkatan ke kuburan maupun waktu pemakaman. Terus terang, saya tidak hanya bingung dengan para pemimpin politik, tetapi juga dengan masyarakat. Penghargaan kita terhadap nyawa orang amat kurang. Kita kejam sekali terhadap rakyat biasa, dengan ikut-ikutan memberi stigma seperti penjarah atau perusuh. Tetapi di lain pihak, kita begitu pemaaf terhadap pejabat. Di sini saya mempertanyakan quality of mercy. Seakan-akan pembantaian demi pembantaian terjadi di negeri ini, tetapi cepat lupa, tertutup dan tertumpuk kasus baru.

Sering ada ajakan, lupakanlah dan maafkanlah tragedi yang lalu. Namun, ungkapan ini sering menjadi legitimasi sebuah rezim. Ini sering terjadi. Atas nama rekonsiliasi nasional, lupakan tragedi masa lalu. Dengan begini, pelaku utama tragedi itu, yang seharusnya diproses secara hukum, justru bisa menjadi pahlawan baru. Saya merasa, kualitas pengampunan yang hidup di masyarakat ini sedang diguncang.

DI tengah-tengah pembicaraan, terdengar suara anak kecil. "Romo, saya pulang dulu ya..." Romo Sandy bangkit, mengangkat anak itu dan mencium kedua pipinya. "Anak itu adalah Angga Sukrasana."

Siapa dia? 

Ibunya tersesat di Jakarta, menjadi gelandangan, lalu pacaran dengan pemuda jalanan, dan mengandung. Suatu malam, pukul 00.30, hujan gerimis, ayahnya menelepon saya, memberitahu pacarnya mau melahirkan. Mereka tinggal di lingkungan sampah di Prumpung. Atapnya triplek yang disangga tiang. Saya lalu mencari obor, karena gelap. Anak itu benar-benar lahir di sampah. Lalu ibu-ibu pemulung menyediakan kain-kain gombal untuk menghangatkan si bayi. Esok paginya, mungkin didorong rasa tanggung jawab atau apa, bapaknya mencuri gerobak lapak di situ, tertangkap, digebuki dan ditahan di Polsek. Ibu dan anak itu lalu ditampung di kantor.

Ketika suaminya ditahan, ibunya tidak tahan hidup di kantor, lalu kabur dengan anaknya dan kita temukan di daerah Jatinegara, di tempat yang tidak baik untuk perkembangan anak itu. Anak itu lalu kami ambil. Ternyata ibunya malah menitipkan kepada kami. Jadilah anak ini "anak ramai-ramai". Kadang, anak ini dibawa pulang ke tempat kos oleh karyawan di sini, siangnya dibawa ke kantor. Itu berlangsung sekitar lima bulan. Lalu, kakak saya, Mas Benny Sumardi tertarik dan mau mengambil anak. Agaknya, kehadiran Angga menjadi berkah bagi keluarga Mas Benny.

Anak itu juga menjadi simbol dalam persidangan yang lalu. Ia masuk begitu saja, sampai diusir hakim. Tetapi ia duduk saja, dan tidak mau pergi. Hakim lalu diberitahu, ini anak Mas Benny, berikut latar belakangnya, karena dijadikan salah satu bahan pembelaannya Mas Benny. Mas Benny memparalelkan tindakan saya terhadap Budiman Sudjatmiko dan Angga, sehingga kisah manusiawinya muncul.

Angga anak cerdas. Pernah meraih juara I Lomba Busana Muslim di TK Mutiara dan juara II lomba serupa di sebuah mal.

Kegiatan Anda banyak berkait dengan orang yang dipinggirkan. Apa dasarnya? Apa karena Anda seorang rohaniwan? 

Saya malah sering lupa saya ini pastor. Kalau sudah menghadapi pekerjaan dan masalah seperti ini, saya tidak terlalu memikirkan saya pastor atau bukan. Ya kalau sedang capai, deleg-deleg, sambil merenung, berdoa, saya sadar sebagai pastor ha...ha...ha...

Dalam arti, saya tidak terlalu mempedulikan perbedaan itu. Ini reaksi manusiawi saja saat melihat orang lain menderita. Sebenarnya sederhana sekali. Mungkin juga ini terbawa karena dalam perjalanan hidup saya, sering bergaul dengan masyarakat, dekat dengan korban. Itu semua membuat saya merasa lebih bahagia. ***

Pewawancara: Marcus Suprihadi Trias Kuncahyono Tonny D Widiastono


Sumber: Kompas, 21 Juni 1998
 

Siapkan Uang Receh Atau Senyum (Masa Krisis)

BEBERAPA upaya sudah dilakukan pemerintah untuk menolong warga masyarakat, terutama para karyawan yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) di masa krisis ekonomi sekarang ini. Semisal proyek padat karya dan makan gratis di warung-warung sehat dan sederhana, atau warsena. Akronim ini untuk "menggantikan" warteg (warung tegal). Alasannya, pengelola warteg saat ini bukan hanya wong Tegal, Jawa Tengah, saja lagi.

Masih ditunggu pelaksanaan padat karya tahap kedua, yang renca- nanya dimulai bulan April ini juga. Beda dengan sebelumnya, padat karya tahap kedua mencakup bidang pertanian, warsena. Beda lainnya, kalau tahap pertama - pembersihan kali dan got-got - hanya melibatkan laki-laki, tahap kedua wanita diikutkan.

Di Jakarta, padat karya tahap pertama menghabiskan dana Rp 27,4 milyar. Rinciannya, Rp 18 milyar dari APBN, Rp 7 milyar dari APBD, dan Rp 2,74 milyar sumbangan Menteri Sosial.

***

UPAYA itu tentu saja belum menjangkau semua warga. Sementara itu, orang-orang terus mengalir ke Jakarta. Dari desa-desa di seluruh Indonesia - terutama Pulau Jawa - mau mencoba keberuntungan karena di desa tak ada yang bisa dikerjakan akibat krisis ekonomi. Maka, beban Ibu Kota yang sudah berat menjadi lebih berat.

Sementara itu, bagi warga dan pendatang, berharap bisa bekerja di sektor formal saat ini tidaklah mudah. Pabrik, restoran, pusat perbelanjaan, malah mengurangi karyawan. Di sektor informal pun kesempatan itu semakin sempit. Penyaluran pembantu rumah tangga dan baby sitter tak lagi lancar (Kompas, 14/3).

Maka, salah satu pilihan, menjadi pedagang asongan, pengamen atau "menjual jasa" melap kaca mobil di perempatan-perempatan jalan Ibu Kota. "Jumlahnya terus bertambah," kata sejumlah warga.
Dan itu diakui Serma Teguhno, anggota polisi yang sehari-hari bertugas di Pos Pulomas, sekitar 100 meter dari perempatan Jl Suprapto-A Yani-Perintis Kemerdekaan-Yos Sudarso. Dia tak menyebut angka, tetapi setiap hari dia melihat wajah-wajah baru di situ.

Pengamatan Kompas selama beberapa hari awal April di perbatasan wilayah Jakarat Pusat, Timur, dan Utara, yang lebih dikenal dengan nama Perempatan Coca Cola itu, menunjukkan pedagang, pengamen dan sejenisnya, jumlahnya 100 orang lebih. Angka sebelumnya, menurut anak-anak itu, sekitar 30 orang.

Di ujung Jl Letjen Suprapto, di atas marka pembatas jalan terlihat 38 orang, belum terhitung orang yang bergerombol di sisi kiri jalan yang akan berbelok ke Tanjungpriok atau lurus ke Pulogadung. Di ujung Jl A Yani, 23 orang. Jumlah yang kira-kira sama terlihat di ujung Jl Perintis Kemerdekaan dan ujung Jl Yos Sudarso.

Erlangga Lukman Syah (16), pengamen yang sudah 10 tahunan bergumul di kawasan itu mengakui bertambahnya "anak jalanan" itu. "Tuh yang kepalanya botak baru seminggu di sini," katanya. Jumadi (39), misalnya, adalah salah seorang pendatang baru datang dari Kediri, Jawa Timur, tetapi lahir di Medan. Dia memilih menjadi tukang lap kaca mobil.

***

PEREMPATAN Coca Cola, bukan satu-satunya perempatan di Jakarta yang mengalami tambahan "anak jalanan". Untuk menyebut beberapa, semisal perempatan Kelapagading, Plumpang, Tanjungpriok, Grogol, Tomang.

Selama ini, perempatan dinilai rawan oleh sebagian besar warga. Di perempatan itu sering terdengar peristiwa-peristiwa penodongan, pengambilan secara terang-terangan kaca spion mobil-mobil mewah, dan meminta uang secara paksa. Maka, pertambahan jumlah anak-anak itu ikut meningkatkan kekhawatiran di kalangan warga.

"Banyak kejadian biasanya saat hujan atau malam hari," kata Serma Teguhno. Di siang hari yang cerah, lanjutnya, biasanya karena sikap pengendara yang memancing amarah. Semisal, menunjukkan sikap cuek, memperlihatkan rasa tidak suka, marah-marah, mengumpat.

Karena itu, Serma Teguhno menyarankan, selain berhati-hati, tak ada salahnya "memberi" anak-anak itu. Dan itu juga diakui anak-anak itu. "Dikasih cepek aja kami sudah senang," kata Lukman, Jumadi, dan beberapa kawannya.

Maka, saran Serma Teguhno, selalu siapkan uang receh dan -terutama - selalu tersenyum kepada anak-anak itu... (msh)  

Sumber:  Kompas, 17 April 1998

Sistem Stiker Digagas: Jangan Mengulang Kesalahan KPP (Tulisan lama)

KEBIJAKAN Pemda DKI tentang kawasan pembatasan penumpang (three in one) memang istimewa sejak awal. Paling tidak, perhatian yang diberikan Kompas terhadap pelaksanaan KPP itu sangat istimewa. Betapa tidak, sepanjang lima tahun masa uji coba dan diberlakukannya KPP, Kompas membuat dua kali penelitian dan sekali liputan evaluasi.

Sebelum KPP diujicobakan, Kompas melakukan penelitian tentang sikap masyarakat terhadap rencana pemberlakuan KPP dan bagaimana tindakan mereka jika KPP diberlakukan. Sasaran penelitiannya adalah karyawan yang bekerja di kantor-kantor di kawasan KPP. Lalu ketika uji coba KPP sudah berlangsung setahun, Kompas membuat liputan evaluasi tentang pelaksanaan KPP.
Dan ketika KPP hampir berusia lima tahun, Kompas kembali melakukan penelitian tentang sikap masyarakat kelas menengah Jakarta terhadap pelaksanaan KPP selama itu serta bagaimana perilaku mereka dalam melintasi KPP pada jam-jam yang ditentukan.

Meski kedua penelitian itu dilakukan dengan metode dan kerangka penelitian yang berbeda, tetapi hasilnya ternyata konsisten. Yakni masyarakat, baik pengguna maupun bukan pengguna KPP, sama-sama tidak setuju diberlakukannya KPP. Dalam pandangan mereka kemacetan di kawasan itu tetap terjadi.

Kalaupun kemacetan berkurang, itu terjadi karena kemacetan dipindahkan ke jalan-jalan lain yang sebelumnya tidak pernah macet. Lihat saja antrean kendaraan panjang dan berdesak-desakan di jalur Jl Casablanca - Satrio KH Mas Mansyur - Abdul Muis setiap pagi. Pemandangan yang sama terjadi di jalan Warung Buncit - Tendean - Wolter Monginsidi atau jalan arteri Pondok Indah - Pejompongan.

Fenomena lain yang menyertai pelaksanaan KPP adalah munculnya ratusan joki yang setiap pagi mewarnai jalan-jalan menuju KPP. Fenomena itulah yang barangkali tidak terbayangkan sebelumnya.

Soal lain yang juga mengganjal pelaksanaan KPP adalah adanya ketidaksiapan landasan hukum yang harus menyertai kebijakan itu. Surat Keputusan Gubernur dianggap tidak cukup kuat untuk menjerat para pelanggar yang pada awal-awal pelaksanaan KPP bermaksud "nakal" dan mengakali petugas.

Setelah Pengadilan Negeri tidak mau menyidangkan kasus-kasus pelanggaran KPP dan kalangan pakar hukum mempersoalkannya, Pemda bermaksud membuat peraturan daerah (Perda) untuk memberi landasan hukum yang kuat. Tetapi entah mengapa, Perda itu tidak pernah muncul. Dan landasan hukum yang kemudian dipakai adalah Perda No 11/1988 tentang ketertiban umum.

***

SINGKATNYA, pada awal-awalnya pelaksanaan KPP terkesan Pemda DKI kedodoran menghadapi berbagai bentuk ketidaksetujuan, kontroversi, dan kritik pedas dari berbagai kalangan. Meski pada akhirnya KPP itu berlangsung selama lima tahun, namun akhirnya harus diganti dengan kebijakan lain yang dipandang lebih realistis.

Tentu kebijakan baru -sistem stiker- itu nantinya tidak mengalami nasib yang sama dengan KPP. Dengan kata lain, jangan sampai pengalaman KPP terulang kembali pada sistem stiker yang sampai sekarang juga belum jelas benar konsepnya.

Justru karena belum ditentukan kapan waktu persisnya pelaksanaan sistem stiker itu, sekarang masih terbuka kesempatan bagi Pemda untuk lebih matang merumuskan dan mensosialisasikan konsepnya. Lebih dari itu adalah sikap akomodatif Pemda untuk menerima dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat, serta merevisinya bila dianggap perlu.

Tampaknya, sistem stiker akan berjalan lebih mulus dibanding KPP selama ini. Setidaknya, ganjalan dari DPRD akan lebih kecil. Petunjuknya, setidaknya dua ketua komisi di DPRD DKI menyatakan dukungannya.

Ketua Komisi D, Ir Ali Wongso HS kepada Kompas mengaku sudah sejak awal mengusulkan sistem stiker. Hal yang sama juga dikemukakan Ketua Komisi C, H Amarullah Asbah kepada Antara menanggapi rencana penggantian KPP dengan sistem stiker. "Sistem three in one sebenarnya sejak dulu saya usulkan untuk diganti dengan konsep stiker," katanya.

***
 
AGAR sistem stiker nantinya bisa berjalan mulus, memang masih banyak hal yang harus disiapkan. Aspek hukum tampaknya bisa cepat diselesaikan setelah mendapat dukungan dari DPRD. "Apalagi kalau yang mau dipakai sebagai dasar hukum adalah Keppres, bisa lebih cepat lagi" kata Ali Wongso.

Persoalan pertama yang harus segera diselesaikan adalah konsep sistem stiker itu sendiri. Kejelasan konsep bukan hanya pada penanganan teknis di lapangan seperti bagaimana dan di mana mendapatkan stiker, berapa harga stiker, di mana stiker harus dipasang, bagaimana pengawasannya, dan seterusnya. Persoalan yang tidak kalah penting adalah transparansi dan pertanggungjawaban uang yang diperoleh dari penjualan stiker. Bahkan dituntut juga transparansi dalam tender jika perusahaan swasta mau dilibatkan.

Soal stiker itu siapa yang mencetak dan seperti apa bentuknya, barangkali itu persoalan mudah. Tetapi, di sini pun harus dibayangkan kemungkinan terjadinya pemalsuan stiker. Tehnologi percetakan dan fotocopy kini memudahkan orang yang bermaksud tidak baik.

Sebelum bisa memasang stiker, tentu masyarakat harus diberitahu di mana dan bagaimana mendapatkan stiker. Lokasi dan cara pembelian harus dipikirkan secara cermat supaya masyarakat mudah mendapatkan dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas itu sendiri. Memasang loket-loket di jalan atau suatu tempat sebelum masuk ke kawasan stiker, tentu bukan cara yang tepat.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana pengawasan terhadap kendaraan yang mau masuk kawasan stiker itu. Di sini, sistem yang diterapkan tidak boleh sekadar memindahkan kemacetan ke jalan-jalan yang mau masuk ke kawasan stiker.

Karena itu, memasang gardu-gardu di ujung jalan masuk kawasan stiker bukanlah cara yang bijaksana. Mengerahkan petugas untuk mengamati apakah kendaraan yang melintas dilengkapi stiker atau tidak seperti selama diberlakukannya KPP, mungkin bisa menjadi alternatif. Tetapi dari sisi pemanfaatan sumber daya manusia, tentu saja itu merupakan pemborosan yang luar biasa.

Cara yang mungkin bisa dipikirkan adalah memasang kamera pengintai di pintu-pintu masuk kawasan. Jika itu yang dipilih, maka ukuran, warna dan di mana stiker harus dipasang, menjadi penting.

***

SETELAH aspek teknis terpecahkan, persoalan berikut adalah transparansi perolehan dan pemanfaatan uang yang diperoleh dari penjualan stiker. Idenya, dana yang terkumpul dari penjualan stiker itu terutama akan dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas kendaraan umum di Jakarta. "Semacam subsidi silang, begitulah," kata Ali Wongso.

Subsidi silang bisa diartikan sebagai "yang kaya membantu yang kekurangan". Dalam hal ini pemilik kendaraan yang bermaksud melintas di kawasan itu setelah diberlakukannya sistem stiker berarti telah membantu masyarakat yang relatif kurang mampu yang harus berdesak-desakan di dalam bus pengap.

Persoalannya adalah, bagaimana masyarakat yang telah rela "menyumbang" itu tahu, bantuannya telah dipakai sesuai tujuan semula. Jika dilihat dari kebiasaan mereka selama ini memakai jasa joki Rp 2.000 per hari, artinya mereka sebulan rata-rata mengeluarkan minimal Rp 40.000.

Teoritis seharusnya rela membayar stiker seharga Rp 40.000 asalkan jelas dijamin kelancarannya. Yang menjadi soal baru adalah jika tarif stiker itu terlalu rendah sehingga peminatnya sangat besar, dan kemacetan terjadi seperti sebelum diberlakukan KPP. Karena itu, soal tarif ini lalu menjadi titik krusial yang harus dipikirkan secara cermat.

Barangkali persoalan krusialnya bukan pada besarnya harga stiker, tetapi pada aspek kepercayaan pada Pemda sebagai pengelola dana. Sebab dari pengalaman selama ini, dana-dana publik yang dikumpulkan dari pengorbanan masyarakat sering tidak jelas pemanfaatannya. Paling tidak, jarang ada pertanggungjawaban secara rutin dari pengelola dana kepada masyarakat.

Dalam masyarakat yang semakin kritis, tidak bisa tidak pertanggungjawaban itu menjadi penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Jika masyarakat bisa melihat langsung apa hasil dari pengorbanannya, mereka akan rela membayar sedikit lebih mahal.

Terakhir, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat, keikutsertaan swasta dalam sistem stiker itu sebaiknya juga terbuka, dari sejak tender sampai pembagian tugas dan hasil antara swasta dan pemerintah daerah. (msh)




Sumber: Kompas, 1 Februari 1998

Antara Harga Diri dan Gantungan Hidup (tulisan lama)

TEMPAAN keras pedagang kaki lima yang setiap saat harus berhadapan dengan ketidakpastian membuat mereka solid sebagai sebuah kelompok. Namun, sebagai individu mereka bebas menentukan keputusan pribadinya, juga dalam bersaing sesama pedagang.

Persaingan dikembalikan kepada kemampuan pribadi untuk menentukan harga yang dianggapnya memberikan keuntungan. Rajali, pedagang pakaian di Pulogadung, misalnya, bisa menentukan harga celana Rp 17.000 padahal pedagang di sebelahnya menjual dengan harga Rp 15.000 per potong.
Tidak ada rasa sakit hati ketika calon pembeli yang sudah menawar di tempatnya pada akhirnya membeli di sebelahnya karena harga yang lebih miring. Pertimbangannya sederhana saja, bahwa rezeki itu sudah diatur oleh Yang di Atas.

Logika yang bermain di situ adalah logika sederhana, bahwa selisih harga jual dan harga pembelian itulah pertimbangan utama seorang pedagang melepas atau menahan barangnya. Orang lain menjual lebih murah, barangkali karena sebelumnya membeli barang yang sama itu dengan harga yang juga lebih murah.

Perbandingan selisih harga beli dan jual ini jelas terlihat pada pedagang loak kaki lima di Jatinegara. Murjito (50), asal Jember, mengatakan, ia membeli kipas angin rusak seharga Rp 5.000. Kipas angin atau barang loak lainnya, seperti tape dibeli dari siapa saja yang mau menjual barang-barang rusak dan tukang abu gosok yang sering menukarkan barang bekas dengan abu gosok dari rumah ke rumah.
Setelah diperbaiki, menurut Murjito, kipas angin dapat dijual seharga Rp 20.000. Untuk memperbaiki kipas angin tersebut, biasanya Murjito minta bantuan teman-temannya juga. "Kalo hidup, kipas anginnya laku, kalau tidak, ya tekor," katanya.

Bahkan ketika harga barang terus merayap naik seperti sekarang ini, manajemen harga seperti itu masih dipertahankan. Kalau harga jualnya tidak bisa untuk membeli barang yang sama? "Ibaratnya keuntungan kita yang dikurangi," kata Amad (39), pedagang di Tanahabang.

Melihat banyaknya pedagang yang tiba-tiba saja muncul di Tanahabang ketika pemerintah membebaskan mereka berjualan selama bulan Ramadhan ini, Amad juga tidak peduli. Ia tidak merasa terganggu ketika ada pedagang baru yang tiba-tiba mendirikan tenda di depannya.

Ia juga tidak peduli apakah pedagang baru tersebut adalah pedagang dari Tanahabang, dari tempat lain, atau pedagang yang benar-benar baru. "Tak perlu lah ngurusin orang lain, ngurus diri sendiri saja sudah susah," lanjutnya.

Apakah dengan demikian hubungan antar pedagang lalu sama sekali tidak hangat? Justru sangat hangat. Apalagi sebagian mereka mempunyai hubungan kekerabatan, pertemanan, atau paling tidak diikat oleh kampung halaman yang sama? Saling pinjam barang atau uang antar mereka adalah hal yang sangat biasa.

***

SEBAGAI kelompok, pedagang kaki lima mempunyai sikap yang sama menghadapi petugas penertiban. Yakni sikap untuk menghindari urusan dengan mereka. Karena itu, kucing-kucingan dengan mereka lalu menjadi strategi bisnis yang handal.

Ketika terlihat ada penertiban, pedagang akan dengan cepat menyelamatkan dagangannya. Tetapi begitu petugas pergi, dengan cepat pula mereka kembali menggelar dagangannya.

Hanya saja, peruntungan setiap pedagang tidak selalu sama. Amad yang sudah hampir sepuluh tahun berdagang belum pernah sekalipun terkena penertiban. Sebaliknya Firman yang baru berdagang tiga tahun justru sudah tiga kali terkena. Itu artinya harus keluar uang untuk menebus kembali barang. Sekali tebus ia perlu Rp 10.000 - Rp 15.000. Bahwa sebagian barangnya ternyata raib, itu juga bukan hal aneh. "Tetapi biasanya hanya sedikit kok," lanjutnya seperti maklum.

Sebagai kelompok yang selalu was-was dan sering berhadapan dengan -paling tidak menyaksikan- petugas penertiban, mereka bisa menggambarkan dengan persis bagaimana para petugas itu bertindak. Menurut Amad, tidak selamanya mereka bersikap kasar, atau sewenang-wenang dalam menertibkan. Kalau pun mereka berbuat kasar, itu juga karena pedagangnya membandel.

Di Tanahabang, misalnya, Walikota Jakarta Pusat hanya menyediakan lokasi berdagang di sisi kanan jalan Jati Bunder dan Fachrudin dari arah Stasiun Tanahabang. Lokasi tersebut telah diberi pembatas yang jelas. Tetapi yang terjadi sekarang, kedua sisi kanan dan kiri jalan tersebut dipenuhi pedagang, sehingga hanya tersisa cukup untuk satu kendaraan. Akibatnya tentu saja lalulintas menjadi macet sepanjang hari.

Kemacetan yang kemudian diikuti kepadatan manusia yang tidak tahan berlama-lama dalam kendaraan umum itu lah yang diharapkan pedagang. Mereka berharap agar orang yang lalu lalang itu mau melirik dagangannya. "Syukur membeli," kata Yanto, pedagang yang lain.

Itu lah sebabnya, kenapa banyak pedagang dari sisi kanan jalan yang kemudian menggelar dagangannya -nyabang, istilah mereka- di sisi kiri jalan. Sebab, lazimnya orang turun dari sebelah kiri. Dengan berjualan di kiri jalan, artinya mereka berusaha mendekatkan diri pada calon pembeli.

***

KESADARAN bahwa mereka sebenarnya melanggar peraturan dan ketertiban itulah sebenarnya yang membuat mereka kucing-kucingan dengan petugas penertiban. Sebab, apa pun alasannya -entah sudah membayar retribusi, uang kebersihan, uang keamanan, dan sejenisnya, kalau mereka tertangkap mereka selalu berada dalam posisi lemah yang tidak mungkin membela diri.

Persoalan mendasar yang mereka hadapi adalah persoalan perut, urusan kebutuhan manusia yang paling penting. Persoalan yang mau tidak mau harus dipenuhi sebelum ia bisa memenuhi kebutuhan yang lain. Apa pun risikonya, mereka akan berusaha mati-matian mempertahankan apa yang sudah di tangannya. "Kalau boleh milih, saya juga mau jadi pegawai," kata Amad yang tamatan SLTA di Padang.

Deri (23), pedagang aksesori wanita di Senen, menceritakan, di Bandung ia sudah berkali-kali mencari pekerjaan di pabrik-pabrik atau perusahaan, tetapi sulit sekali diterima. Terakhir, ia bekerja di bagian mesin kapal. Namun, ia tidak tahan karena pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan minatnya. "Jarang pulang, satu bulan berlayar, dua hari di darat. Gajinya Rp 450.000 per bulan," katanya.

Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini, Amad tidak membayangkan apa yang akan terjadi seandainya pemerintah tidak memberikan kebebasan bagi pedagang kaki lima untuk berusaha. "Coba bayangkan, berapa ribu orang yang tertampung di Tanahabang ini saja?" tanyanya.

Bukankah setiap tahun ada ratusan ribu angkatan kerja yang tidak tertampung oleh gerbong kereta api pembangunan? Dan kesadaran akan segala keterbatasan itulah yang memaksa Amad pada akhirnya harus mempertahankan usaha kaki lima yang sudah dijalaninya bertahun-tahun.

Hanya saja, sampai sekarang ia belum tahu pasti apakah sesudah lebaran nanti ia juga masih bebas berusaha. "Kalau tidak, ya kembali kucing-kucingan dengan petugas," jawabnya.

Baginya, usaha kaki lima itu adalah gantungan hidup yang harus dipertahankan. "Kalau menertibkannya dengan kasar, persoalannya menjadi lain. Itu soal harga diri," lanjutnya. Dan soal perut dan harga diri itulah yang setiap saat bisa meledak jika perlakuan tidak manusiawi mereka terima.

***

MENGUTIP berita yang didengar dan dilihat dari televisi, ia menyatakan bahwa ribuan buruh dan tenaga kerja di-PHK (putus hubungan kerja), dirumahkan, petani sulit bertanam karena hujan masih jarang, Amad merasa bersyukur bahwa ia masih bisa berusaha dengan halal.

Karena itu wajar saja kalau kemudian ia mengharapkan agar pemerintah lebih arif melihat usaha kaki lima ini di kemudian hari. Harapan yang tidak muluk, yakni sekadar diberi kepastian tempat dan waktu berusaha. "Jangan kami dikejar-kejar seperti maling," katanya.

Kalau memang tidak boleh berdagang di satu tempat, ia berharap pemerintah menyediakan tempat lain yang memang cocok untuk pedagang kaki lima. "Kami tidak butuh tempat yang bagus seperti di gedung-gedung tinggi yang malah tidak didatangi pembeli," katanya mengutip rencana pemerintah mengharuskan pengelola gedung untuk menyediakan tempat bagi pedagang kaki lima.

Yang mereka inginkan adalah tempat usaha yang memungkinkan banyak orang datang ke tempat tersebut. Tempat yang lokasinya berdekatan dengan pusat-pusat keramaian seperti pasar, supermarket, atau terminal. Karena itu, setiap kali pemerintah membangun sebuah gedung publik yang akan menjadi pusat keramaian rutin, di dalamnya sebaiknya dimasukkan pula rencana pengembangan usaha kaki lima. (msh/bb)


Sumber: Kompas 11 Januari 1998

Liatnya Usaha Kaki Lima (Tulisan lama)


BUSTAMIN (39 tahun) sore itu, Rabu (7/1) menunggui dagangannya sambil bercanda dengan anak bungsunya yang berusia lima tahun. Meski kartu-kartu lebaran dagangannya masih bertumpuk sementara sepi pengunjung pada hari kedelapan Ramadhan, sama sekali tidak tergambar kecemasan di wajahnya. Di sudut lain emperan kompleks Pertokoan Cempaka Putih, istrinya bersikap sama dalam menunggu kartu lebaran yang juga sepi pembeli. Pasangan dengan lima anak ini mempunyai dua tempat untuk berdagang kartu-kartu lebaran selama Ramadhan ini.

"Tampaknya tahun ini lebih sepi dari tahun-tahun sebelumnya," katanya. Meski menyadari bahwa krisis moneter, krisis ekonomi, melambungnya nilai dollar, tetapi ia tetap optimis, dagangannya akan habis terjual sebelum Lebaran.

"Meski sekarang lebih sepi, tetapi biasanya pembeli baru ramai setelah lewat tanggal 15 (Ramadhan -Red)," ungkapnya. Dalam bayangannya, setelah masyarakat selesai mempersiapkan lebaran dengan membeli pakaian, beres-beres rumah, dan kebutuhan lain, barulah mereka membeli kartu lebaran untuk dikirim ke teman atau kerabatnya.

***

OPTIMIS, paling tidak harapan baik, itulah yang terkesan kuat dari pembicaraan Kompas dengan puluhan pedagang kaki lima di berbagai tempat di Jakarta: Tanahabang, Cempaka Putih, Senen, Jatinegara, Pulogadung, dan Tanjungpriok selama tiga hari minggu kedua Ramadhan ini.
Meski hingga hari kedelapan Ramadhan lalu dagangan masih sepi -apalagi kalau dibanding menjelang lebaran tahun lalu- optimisme itu tidak pupus. Karena, situasi tidak menentu adalah napas hidupnya.

Bukankah dalam menjalankan usahanya mereka senantiasa dihadapkan pada ketidakpastian akan keamanan berusaha, ketidakpastian akan banyak sedikitnya pembeli yang datang dan berbelanja? Justru ketidakpastian itulah yang memacu denyut jantung mereka untuk terus memompakan semangat kemandirian. Semangat yang kemudian menjadikan pedagang kaki lima umumnya liat, tidak mudah putus asa, meski tidak selamanya itu membuahkan keberhasilan.

***

PERJALANAN hidup Sukrisno (25 tahun) pedagang pakaian anak-anak di Tanahabang, barangkali bisa memberi gambaran betapa liatnya usaha kaki lima yang biasa disebut sebagai katup ekonomi itu. Setamat STM di Lampung, anak keempat dari tujuh bersaudara ini pernah menjadi pekerja di perkebunan kelapa sawit di Palembang, meski hanya bertahan selama setengah tahun.

Tiba di Jakarta 1989, ia segera bergabung dengan abangnya yang sudah lebih dahulu berdagang di Tanahabang. Ia membantu abangnya berdagang. Karena punya keahlian di bidang bangunan, maka ia pun sering memborong pekerjaan bangunan di beberapa proyek atau rumah tangga. "Jika tidak ada kerjaan, saya ikut jualan lagi," katanya.

Tidak hanya ikut berdagang abangnya, ia pun mulai belajar mandiri. Modal yang terkumpul dari usahanya sebagai pemborong dan membantu abangnya mulai ia belikan barang dagangan. Selain berdagang pakaian, ia sering berdagang sayur-sayuran pada pagi hari. "Tergantung mana yang sedang bagus pasarannya," katanya.

Baru tiga bulan belakangan ini ia kembali berdagang di Tanahabang. Selain sepi borongan, tiga bulan menjelang lebaran dianggapnya sebagai bulan baik bagi usaha kaki lima. "Pengalaman selama ini memang begitu," katanya.

Liku-liku usaha pedagang kaki lima tidak hanya dialami oleh Krisno saja. Beberapa pedagang kaki lima mempunyai jalan hidup kira-kira mirip. Berawal dari magang atau bantu-bantu teman/saudara, kemudian mengumpulkan modal sedikit-demi sedikit, lalu berusaha untuk mandiri.

Modal tampaknya bukan soal yang sulit bagi mereka yang mengawali dagangnya dari magang. Sebab, ikatan kekerabatan ikut berperan dalam penyediaan modal awal, setidaknya memberikan pinjaman lunak. Deri (23), penjual aksesori wanita di Senen, mengatakan, ia pernah memberikan modal sebesar Rp 600.000 kepada adiknya Yanto (20). "Tapi, uang itu habis dan tidak ada hasilnya," keluhnya.

Pengalaman ini tidak membuat Deri jera berdagang bersama adik-adiknya, yaitu Hendrik (17) dan Yanto (20). Setelah mengalami betapa sulitnya mencari pekerjaan, Deri lebih senang membekali adik-adiknya dengan pengalaman berdagang. "Saya mengajari mereka bagaimana menarik minat pembeli dan mengolah uang supaya balik modal," jelasnya.

Deri juga menjelaskan, setelah berdagang aksesori wanita di Senen sejak 1996 bersama dengan kedua adiknya, ia mampu mendapatkan untung rata-rata per hari Rp 30.000. Uang ini sebagian digunakan untuk makan sehari-hari dan sisanya ditabung di bank. "Ya, kalau dipakai untuk beli motor, ya, bisa," katanya ketika ditanya berapa tabungannya sekarang. Deri sudah menabung uang sebesar Rp 4,8 juta selama kurang lebih dua tahun.

Namun demikian, hampir tidak ada pedagang kaki lima yang pernah meminjam uang di bank. "Repot Pak," kata Ahmad, pedagang di Tanahabang. Kerepotan itu, bukan hanya pada aspek administratif yang harus dipenuhi, tetapi terlebih kekawatiran tidak bisa mengembalikan pinjamannya. Yanto, pedagang kelahiran Tanahabang dari pasangan Betawi-Cirebon misalnya, pernah mau pinjam uang di Bank Perkreditan Rakyat dalam jumlah yang relatif tidak banyak. "Kalau harus ngurus surat-surat, saya tidak bisa dagang," ujarnya. Akhirnya ia tidak jadi mengurus kredit.

Di luar pinjaman lunak dari teman atau saudara, ada kalanya pedagang terjerat pada pemberi pinjaman perorangan untuk menyederhanakan istilah lintah darat. Pengalaman Yanto, ia hampir bangkrut gara-gara pinjam ke pedagang uang tersebut karena dagangan lagi sepi sehingga tidak bisa membayar pokoknya.

Persoalan paling sulit yang dihadapi pedagang kaki lima justru bukan pada permodalan, melainkan tidak adanya jaminan berusaha dengan aman. Petugas ketertiban adalah "musuh" utama yang setiap saat bisa mengancam kelangsungan usahanya. Karena itu, bermain kucing-kucingan dengan petugas merupakan seni yang harus dikuasai.

Setelah Tanahabang, di kawasan Senen juga dilakukan penertiban pedagang kaki lima. Akibatnya, Unggul Sianipar (21), pedagang dompet memang tidak dapat lagi menjual dagangannya di areal jalan, tetapi di atas trotoar yang berpagar besi. Pendapatannya jelas berkurang. "Sebelumnya, bisa dapat Rp 50.000-Rp 100.000 per hari, Sekarang, cuma Rp 5.000-Rp 20.000," keluhnya.

Maka, ketika pemerintah memberikan keleluasaan membolehkan mereka berdagang di kaki lima di bulan Ramadhan ini, mereka sangat bergembira. Meskipun omset mereka tidak sebaik tahun-tahun lalu, tetapi setidaknya pemerintah sudah membantu memberikan peluang mendapatkan uang bagi banyak orang. "Kalau kami juga dilarang berjualan seperti biasanya, coba bayangkan berapa jumlah penganggur?" tanya Ahmad yang hingga pukul 13.30 baru mendapatkan uang Rp 50.000.

***

GANTI-ganti jenis usaha atau komoditi yang diperdagangkan tidak hanya dilakukan oleh Krisno. Kalau dilihat dari maraknya pedagang kaki lima di Tanahabang sejak awal Ramadhan, tentunya ada sejumlah pedagang baru. Entah mereka pedagang dari tempat lain atau pedagang musiman yang hanya berjualan pada waktu-waktu tertentu seperti menjelang lebaran seperti Krisno.

Dalam pengamatan Kompas, di sepanjang Jl Fachrudin, Jati Bunder, dan Jl Jembatan Tinggi terdapat 1000 lebih tenda yang didirikan. Karena rapatnya pedagang menempatkan meja tempat dagangan, maka setiap tenda bisa menampung tiga sampai empat pedagang.

Tentu saja tidak semua pedagang yang biasa mangkal di Tanahabang. Sebut saja Krisno yang baru kembali berdagang dalam tiga bulan terakhir, meskipun sebenarnya ia sudah dikenal sebagai dan mengenal liku-liku pedagang kaki lima Tanahabang. Bahkan setiap Sabtu dan Minggu mengajak temannya yang sekarang bekerja sebagai buruh bangunan untuk ikut membantunya menjualkan dagangannya.

"Lumayan, Sabtu dan Minggu kemarin teman saya bisa dapat uang Rp 84.000," katanya. Uang sebesar itu setara dengan upahnya selama seminggu sebagai buruh bangunan.

Di Cempaka Putih, Bustamin sebenarnya hanya mengisi waktu selama bulan Ramadhan. Pekerjaan utamanya adalah pedagang nasi Padang -juga di kaki lima- di depan Kantor Pos, Pasar Baru. "Sebagai muslim, rasanya tidak enak lah jualan makanan pada siang hari," katanya. Kartu lebaran dipilih karena sebelum berdagang nasi ia memang pedagang benda-benda pos yang mangkal di depan kantor pos.

Tidak hanya itu, Ahmad menyebut seorang temannya yang semula bekerja di kantor, setelah terkena PHK kini beralih menjadi pedagang kaos di Senen. Dan Firman, pedagang asli Betawi yang baru tiga tahun berdagang celana dalam menyebut salah satu kenalannya yang pegawai negeri tetapi setiap menjelang lebaran cuti untuk berdagang. "Hanya saja, tahun ini saya belum melihat dia," lanjutnya. (m suprihadi/bb)


Sumber: Kompas 11 Januari 1998

T e y e k ( Cerpen M Santjuk Suprihadi)


ENTAH kenapa, setiap kali anakku minta didongengkan menjelang bobok, yang terlintas di benakku selalu nama satu ini: Teyek! Ya.. Teyek. Sebuah nama yang selalu berada di urutan pertama memoriku setiap kali aku mengenang masa kecilku.

Nama Teyek yang sebenarnya adalah Hartoyo. Tapi entah bagaimana cerita dan asal muasalnya ia dipanggil Teyek. Mungkin sekali ini perubahan fonem dari Hartoyo menjadi Harteye yang kemudian disingkat menjadi Teye lalu diucapkan Teyek agar terasa lebih mantap.

Kemungkinan itu memang masuk akal, karena pemuda-pemuda desa kami yang merantau ke Jakarta ketika itu sering pulang dengan membawa bahasa baru, Bahasa Orang Kote, Orang Betawi yang pengucapan vokal a pada suku kata terakhir diucapkan menjadi e. Seperti kota menjadi kote, saya menjadi saye, gua menjadi gue, percaya menjadi percaye, dan sebagainya. Maka nama Hartoyo pun menjadi Harteye lalu menjadi Teyek!

Teyek tinggal di sebelah rumahku. Usianya terpaut beberapa tahun saja di atasku. Sehingga, sejak kecil kami sudah biasa main bersama. Di luar kegiatan rutin seperti ke sawah, sementara saya sekolah, hampir setiap saat Teyek berada bersamaku. Tidak siang tidak malam.

Teyek memang sempat sekolah sampai kelas dua atau tiga SD. Awalnya dia sekelas di atasku, tetapi karena tidak naik di kelas dua, ia kemudian menjadi satu kelas denganku. Kami selalu berangkat sekolah bersama. Berjalan kaki seperti layaknya anak desa di tahun 60-an akhir.

Perjalanan pergi dan pulang sekolah selalu menyenangkan. Tidak jarang kami sengaja memutar jalan untuk bisa mencuri mangga keong di kebun belakang rumah Mbah Broto yang galak. Kalau ketahuan dan Mbah Broto berteriak-teriak sambil mengejar-ngejar, kami malah meledeknya. Lemparan batu atau galah ke arah kami malah kami anggap dagelan. Kami pun tertawa-tawa riang.

Siang hari sepulang sekolah biasanya dia juga langsung bermain di rumahku. Bersama teman-teman sebaya lainnya, seperti Sutris Nyemik, Widodo Gandhil, Dodo Ndondel, Saliman Pethok, dan banyak lagi lainnya, kami biasa main gundhu, benthik, atau ganefo, hingga sampai jam makan siang.
Ibu biasa menyediakan makanan untuk kami semua. Maklum di masa-masa awal pemerintahan Orde Baru itu hidup betul-betul susah. Bisa makan sehari sekali saja sudah termasuk mewah. Hampir semua warga kampung bergantung pada ibu yang ketika itu jadi juragan batik.

Jangan tanya menu makannya apa. Tentu seadanya. Apa saja yang bisa dipetik atau digali dari pekarangan rumah bisa menjadi santapan. Beras sangat langka, sehingga kami biasa makan thiwul atau nasi beras merah bantuan dari Amerika yang rasanya amat-amat sepa. Juga jenang bekatul (kulit ari hasil sosohan beras) yang mestinya untuk pakan ternak dengan lauk goreng teri.

Untuk menyumpal asupan karbohidrat, ibu biasa masak sayur bobor daun turi muda dicemplungi singkong, ubi, atau uwi. Kadang sayurnya lodeh batang lompong (talas kebun), kadang gudangan, urapan, atau bahkan hanya krawu (kelapa parut dibumbui).

Sederhana memang, tetapi sungguh selalu menyenangkan, karena kami selalu makan beramai-ramai dalam kebersamaan. Guyub dan dalam perasaan senasib.

Selepas makan siang, barulah kami menunaikan pekerjaan wajib kami sebagai anak kampung, yakni mencari rumput untuk ternak kami masing-masing. Tidak seperti teman-temanku yang punya banyak sapi dan kambing, di rumah cuma ada satu kambing saja. Itu pun baru dibeli beberapa minggu sebelumnya, karena saya merengek-rengek ingin bisa menggembala seperti teman-teman. Padahal alasan sesungguhnya adalah agar saya bisa main layang-layang sepuasnya.

Mencari rumput bagiku adalah pekerjaan yang paling menjengkelkan, terutama kalau musim kemarau, saat mana rumput sangat langka. Kalau pun ada, kering-kering. Akan tetapi, pekerjaan itu harus tetap aku lakukan. Kalau tidak, ibu mengancam akan menjual kambing itu lagi.

Beruntung, Teyek dan kawan-kawan sangat bisa memahami kemalasanku. Mereka dengan senang hati membantu mencarikan rumput. Biasanya, setelah keranjang mereka hampir penuh, mereka kemudian bersama-sama mengisi keranjangku sampai kira-kira setengah.

Maklum, kambingku hanya satu, sehingga cukuplah rumput setengah keranjang untuk pakan pada malam dan pagi hari saja, karena sore hari biasanya kambing itu saya angon. Setelah itu mereka kembali merumput untuk memenuhi keranjang masing-masing. Sampai betul-betul penuh.
Karena selalu dibantu mencari rumput, aku lama-lama keenakan. Kalau mencari rumput aku selalu membawa buku. Kadang buku pelajaran, kadang PR, kadang juga bacaan yang populer saat itu "Kuncung lan Bawuk".

Mengingat itu, sekarang aku sering merasa berdosa pada mereka, teman-temanku yang baik itu. Terutama Teyek. Sebab, atas bantuan mereka, sekarang saya boleh dibilang jadi orang. Punya pekerjaan mapan di Jakarta dan hidup dalam kecukupan meski tak kaya-kaya amat. Sedangkan Teyek dan kawan-kawan umumnya tak lulus SD dan sekarang harus banting tulang merantau ke mana-mana untuk sekadar bisa menghidupi keluarganya.

* * *

Di antara kenangan masa lalu, kebiasaan mencuri batang benguk atau mbayung adalah pengalaman yang tak pernah bisa terlupakan. Betapa tidak, kami mencuri tanaman yang sedang hijau-hijaunya itu di sawah salah satu di antara kami sendiri hanya agar kami bisa piknik sehari full untuk merayakan Lebaran.

Ceritanya, pada awal-awal 70-an hari raya Lebaran memang jatuh di bulan-bulan kemarau. Biasanya, setelah musim panen padi para petani lalu menanami sawahnya dengan kacang benguk atau kacang panjang. Selain untuk menambah penghasilan di lahan tadah hujan, tanaman kacang-kacangan akan memberikan hara baru (belakangan saya tahu di akar tanaman kacang-kacangan ada bintil-bintil kecil yang mengandung nitrogen) bagi sawah kami. Tak heran kala itu tanaman padi kami selalu subur meski tak menggunakan pupuk buatan pabrik.

Kacang benguk, kacang panjang, dan juga kacang kedelai yang ditanam di awal musim kemarau memang memberikan warna tersendiri bagi kehidupan di desa kami. Ketika semua pepohonan di pekarangan meranggas untuk menghemat penguapan dari dalam tubuhnya, di sawah masih terdapat hijau-hijauan. Maka berjalan-jalan di pematang sawah di sore hari menjadi sangat menyenangkan. Apalagi bagi anak-anak seperti kami. Bermain layang-layang sambil menggembala adalah kebahagiaan tersendiri.

Selain menyejukkan, keberadaan tanaman kacang yang rimbun menghijau juga menyenangkan bagi kami, karena biasanya di bawahnya ada banyak jangkrik juga. Terlebih juga biasanya di dekatnya banyak rumput yang cukup hijau untuk pakan ternak kami.
Maka, hari terakhir Ramadhan biasanya menjadi hari yang paling mendebarkan bagi kami. Di satu sisi kami tetap harus memperhatikan hewan ternak kami, tetapi di sisi lain kami ingin sekali menikmati keriaan hari Lebaran. Sebab, hanya di hari itulah kami punya baju baru dan uang cukup untuk bisa piknik.

Piknik itu pun biasanya kami lakukan dengan berjalan kaki sejauh 10-an kilometer. Tujuannya ke Rowo Jombor, sebuah rawa buatan Belanad untuk menampung air hujan guna mengairi sawah-sawah di sejumlah desa. Di sana kami bisa menumpang rakit dari tepi timur ke tepi barat.

Meski hanya menumpang rakit, senangya hati kami luar biasa. Selain banyak orang yang menumpang, semuanya berpakaian baru, sambil makan kacang rebus kami juga bisa mendengarkan lagu-lagu terbaru dari tape recorder yang diputar si pemilik rakit. Maklum, ketika itu radio saja masih menjadi barang mewah di desa-desa di Jawa sekali pun.

Menumpang rakit hanyalah kesenangan sesaat. Yang lebih memberikan keriaan justru pada perjalanan pergi pulangnya. Dengan uang di kantong yang tak seberapa, rasanya hari itu kami benar-benar seperti pangeran yang kaya raya. Di sepanjang perjalanan kami bisa membeli minuman segar bernama cao atau dawet dan es lilin dijajakan di hampir setiap jengkal tanah.

Lapar? Tak masalah! Hari Lebaran ketika itu benar-benar seperti pesta rakyat. Banyak ibu-ibu yang biasanya bertani tiba-tiba beralih profesi untuk sehari sampai seminggu menjadi pedagang makanan atau minuman. Mereka biasa membuka dasaran di sepanjang pinggir jalan yang banyak dilalui anak-anak dan muda-mudi yang berpiknik. Tidak hanya di jalan raya antarkecamatan atau antardesa, bahkan di kampung-kampung pun banyak pedagang dadakan itu.

Jenis makanannya tentu saja bukan seperti sekarang. Cukup pecel dan gudangan dengan lauk pauk khas desa, tempe/tahu bacem, bakwan, enteng-enteng singkong, dan krupuk. Minumannya ya cao, es lilin, dawet, atau paling mewah limun!

Nah, untuk bisa menikmati keriaan sepanjang hari penuh itulah, di hari terakhir Ramadhan kami harus memutar otak bagaimana mendapatkan pakan ternak untuk sepanjang hari besok. Sambil mencari rumput, biasanya kami menyusun rencana jahat untuk mencuri rumpun benguk dan kacang panjang (mbayung) malam hari nanti.

Pernah, suatu saat kami berencana akan menyikat benguk di sawah Mbah Joyo. Selain rumpun benguknya subur sekali, Mbah Dipo juga tak punya anak sebaya kami, sehingga kalau pun kami membabat benguknya tidak ada yang dirugikan di antara kami.

Seperti layaknya permufakatan jahat, malam itu sekitar pukul 18.30 kami semua sudah berkumpul di rumahku. Di bawah pimpinan Teyek, kami menuju sawah Mbah Joyo sambil menyembuyikan sabit di balik sarung.

Setiap gerumbul benguk kami dekati dan kami bolak balik, pura-pura mencari jangkrik. Akan tetapi, sesungguhnya sabit kami bekerja cekatan memangkas pangkal batang benguk itu. Sebelum meninggalkan gerumbulan itu, kami mengikat salah satu pucuknya dengan pucuk dari gerumbul di sebelahnya. Begitulah yang kami lakukan dari satu gerumbul ke gerumbul lain.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara bentakan. Rupanya Mbah Joyo curiga pada aksi kami. Kami pun lari terbirit-birit. Mbah Joyo berusaha mengejar dengan napas ngos-ngosan sambil teriak-teriak. Tapi mana mampu dia mengejar kami yang masih anak-anak. Maka, meski gagal mendapatkan pakan, kami merasa sangat senang bisa mempermainkan Mbah Joyo yang dikenal galak di kampung kami.

Gagal di sawah Mbah Joyo, kami harus mencari sasaran baru. Prinsipnya, malam ini harus dapat pakan untuk kebutuhan sehari supaya besok kami bisa piknik. Rapat kilat kami lakukan di perempatan jalan, tetapi nyaris menemui jalan buntu, karena tak menemukan sawah siapa yang bebas dari pengawasan pemiliknya pada malam hari itu.

Akhirnya, Teyek tampil sebagai pahlawan. "Sawahku saja," katanya tegas. Kok? "Gak ada yang jaga. Wong bapak lagi sakit," katanya meyakinkan kami.

Tanpa pikir panjang, kami pun menyerbu mbayung dan benguk di sawah Teyek. Setelah sebagian besar tanaman terpangkas, kami mengambil keranjang dari rumah dan kemudian kembali ke sawah untuk menggulung tanaman itu bersama-sama. Tak sampai lima menit semua keranjang kami penuh.
Kalau mengingat itu, mata saya sering berkaca-kaca. Sebab, baru di kemudian hari saya menyadari bahwa pengorbanan Teyek itu sungguh luar biasa besarnya. Demi kegembiraan kami sehari saja, dia merelakan tanaman di sawahnya kami babat habis.

Itu berarti dia dan keluarganya harus memupus harapan akan panen benguk dan kacang panjang yang sebenarnya juga tak seberapa tetapi cukup untuk menyambung hidup di musim kemarau. Saya lalu membayangkan betapa Yu Ndremo dan Pak Wongso, orangtua Teyek, hanya bisa merenungi sawahnya yang tiba-tiba kehilangan roh kehidupan...

Catatan: tulisan ini pernah dimuat di rubrik Oase Kompas.com 23 Oktober 2009